JAKARTA – Jumlah utang pemerintah kepada PT Pertamina (Persero) mencapai Rp 96,53 triliun. Utang tersebut mencakup  utang akumulasi yang belum dibayarkan sejak 2017 hingga 2019.

Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina,  mengungkapkan jumlah utang sebesar itu merupakan subsidi dan kompensasi BBM dan gas minyak cair (liquefied petroleum gas/LPG) pada 2017-2019 yang belum dibayar pemerintah. Pemerintah sebelumnya berjanji utang tersebut akan dibayar bertahap, yakni Rp45 triliun pada tahun ini dan sisanya Rp51,53 triliun pada 2021-2022.

Menurut Nicke, pembayaran utang tersebut dapat memperkuat modal dan arus perusahaan. Pertamina juga dapat terus mengoperasikan fasilitas distribusi bahan bakar minyak (BBM) dan melanjutkan proyek kilang. Selain itu, pembayaran utang juga sangat membantu setelah keuangan perusahaan terdampak anjloknya pembelian BBM Pertamina oleh masyarakat akibat pandemi Covid-19 sejak awal 2020.

Besaran piutang tersebut sudah dilakukan audit oleh Kementerian ESDM dan BPK, serta disetujui Kementerian Keuangan. Pertamina tinggal menunggu pembayaran saja.

“Arus kas akan sangat terbantu (oleh pembayaran piutang), karena arus kas di Maret-April agak suffer. Ini juga akan sangat membantu modal kami karena kebutuhan capex (capital expenditure/modal belanja) US$6,2 miliar,” kata Nicke saat rapat dengan Komisi VI DPR di Jakarta, Senin (29/6).

Nicke menegaskan modal belanja Pertamina sudah tidak bisa dipangkas lagi di bawah US$6,2 miliar. Pasalnya, besaran anggaran tersebut sudah turun 23% dibanding anggaran awal yang ditetapkan US$ 7,8 miliar. Selain itu, Pertamina juga masih harus melanjutkan proyek kilang yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).

“Kami juga harus investasi untuk jaga produksi migas di hulu. Karena dengan sumur yang banyak yang sudah tua, tetap harus dioperasikan, karena kalau dinonaktifkan akan susah dan mahal untuk diaktifkan kembali mengingat decline rate sudah 20%,” ungkap Nicke.

Nicke mengatakan, kas Pertamina untuk mendanai kegiatan operasi diawasi dengan ketat. Kegiatan operasi perseroan tetap harus jalan lantaran pasokan BBM dan LPG tetap harus disiapkan. Hal ini dilakukan dengan memastikan tangki penampungan di terminal dan SPBU tetap penuh. Selain itu, operasi kilang harus terus berjalan karena jika tidak multiplier effect ke unit bisnis dibawahnya akan langsung terdampak.

Pertamina terpukul oleh tiga hal pada tahun ini, pertama turunnya harga minyak mentah, melemahnya nilai tukar rupiah, dan terpangkasnya permintaan BBM. Hal ini menyebabkan pendapatan perseroan anjlok.

Berdasarkan data Pertamina, pada tahun ini, pendapatan perseroan ditargetkan mencapai US$ 58,33 miliar. Akibat pandemi Covid-19, perseroan memproyeksikan capaian pendapatan yang lebih rendah. Dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) US$ 38 per barel dan kurs Rp 17.500, pendapatan perseroan bakal hanya mencapai US$ 36,16 miliar. Sementara dengan asumsi ICP 31 per barel dan kurs Rp 20.000, pendapatan perseroan diperkirakan di kisaran US$ 32,08 miliar.

Pandemi Covid-19 juga diperkirakan akan menekan laba Pertamina. Target laba Pertamina tahun ini awalnya ditetapkan sebesar US$ 2,2 miliar. Adanya pandemi diperkirakan memangkas laba hingga 51% atau menjadi hanya US$ 1,08 miliar.(RI)