JAKARTA– Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan bahwa penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO) PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE/PGEO) sangat positif bagi perusahaan. Dengan menjadi perusahaan terbuka, PGE wajib menerapkan prinsip transparansi. Lewat keterbukaan, kinerja perusahaan pun akan meningkat dan lebih efisien.

“Jika terdapat pihak-pihak yang menolak IPO PGE, justru bisa dinilai tidak menghendaki PGE lebih transparan dan lebih efisien. Dan saya duga, memang ada yang menghendaki kondisi demikian,” kata Andre Rosiadie, Anggota Komisi BUMN (VI) DPR dari Fraksi Partai Gerindra, di Jakarta, Kamis (16/2/2023).

Menurut Andre, dengan prinsip keterbukaan, semua pihak bisa menilai kinerja PGE. Hal ini sekaligus mencegah penyelewengan di dalam perusahaan sehingga tak ada yang bisa ditutup-tutupi. “Bukankah itu positif? Tapi anehnya, mengapa masih ada yang pihak tertentu yang tidak menghendaki PGE menjadi transparan. Ada apa? Ini yang harus kita waspadai,” jelas Andre.

Terkait isu privatisasi yang diusung beberapa pihak, Andre menilai hal itu justru mengada-ada. Pasalnya, saham PGE yang dilepas ke publik sangat kecil, hanya sekitar 25%. Dengan demikian, tidak ada perpindahan kepemilikan dari Pertamina ke pihak swasta atau asing. Garis kebijakan perusahaan dan kontrol organisasi, jelas Andre, juga sepenuhnya berada di tangan Pertamina. “Jadi kepemilikan apa yang beralih?” tanya Andre.

Dia mencontohkan banyak BUMN yang sukses setelah mencatatkan sahamnya di lantai bursa. Sebut saja Bank Mandiri, BNI, BRI, Bukit Asam, Aneka Tambang, dan lain-lain. Andre mempertanyakan, apakah status perusahaan tersebut berubah tidak lagi menjadi BUMN? “Tidak kan!. Mereka tetap Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Artinya, kepemilikan tetap oleh negara. Tidak ada kepemilikan yang beralih ketika mereka menjadi perusahaan terbuka. Nah, begitu juga dengan PGE, tidak akan ada kepemilikan yang berubah. Jangan lupa, saham yang dilepas PGE juga hanya 25%,” tegasnya.

Di sisi lain, Andre menekankan bahwa IPO dibutuhkan PGE. Pasalnya, investasi panas bumi membutuhkan dana besar. Melalui IPO, PGE akan memperolah dana besar yang dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja, bukan dalam bentuk pinjaman. Dengan demikian, tidak ada kewajiban PGE untuk mengembalikan dana tersebut. “Kalau pinjam bank, kan harus mengembalikan. Tetapi ini kan tidak. Hanya sharing keuntungan saja seiring dengan sharing risiko tentunya,” kata dia.

IPO, menurut Andre, merupakan mekanisme yang lazim dilakukan perusahaan dan sudah banyak kisah sukses, baik di Indonesia maupun di dunia. Dalam konteksi ini, lanjutnya, IPO akan memiliki banyak manfaat. “Tidak hanya untuk perusahaan, tetapi juga untuk negara dan masyarakat,” katanya.

PGE, yang merupakan bagian dari Subholding Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE), rencananya melepas sebanyak-banyaknya 10.350.000.000 (10,35 miliar) saham biasa dengan harga pelaksanaan penawaran perdana dengan kisaran Rp820 — Rp945. Lewat penawaran umum perdana saham, PGEO menargetkan perolehan dana sebanyak-banyaknya Rp9,78 triliun. Alokasi hasil IPO akan digunakan oleh perseroan salah satunya untuk kebutuhan belanja modal (capital expenditure/capex).

Periode penawaran umum perdana saham PGE dijadwalkan berlangsung 20-22 Februari 2023. Pencatatan perdana di papan utama Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 24 Februari 2023. Dalam penawaran umum perdana saham, PGE menunjuk PT Mandiri Sekuritas, PT CLSA Sekuritas Indonesia, dan PT Credit Suisse Sekuritas Indonesia sebagai penjamin pelaksana emisi efek. PGE juga menunjuk CLSA, Credit Suisse, dan HSBC sebagai international selling agents. (RA)