Rencana perbaikan tata kelola gas masih terus bergulir hari-hari ini seiring dengan munculnya keluhan bahwa harga gas yang mahal dan pasokannya pun langka. Padahal, cerita miris tersebut tidak perlu terjadi karena potensi gas Indonesia cukup banyak, sementara di sisi lain kinerja perusahaan migas nasional seperti PT Pertamina Gas (Pertagas) dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN) terus membaik.
Sementara itu, kalangan legislatif dan stakeholder minyak dan gas (migas) kembali memandang revisi Undang-Undang Migas yang sempat terhenti perlu dilanjutkan. Salah satu topik penting yang bakal diatur kembali adalah tata kelola bisnis gas. Dalam situasi seperti ini, sejarah industri migas yang berumur lebih dari 150 tahun menjadi penting untuk diingatkan, agar sesuatu yang baik dapat diikuti dan yang tidak baik dapat dihindari.

Konflik Warisan
Industri migas memiliki sejarah yang panjang. Bangsa-bangsa Yunani, Romawi, Arab dan Asia telah memanfaatkan minyak sejak ribuah tahun lalu. Selanjutnya, industri migas tumbuh pesat seiring munculnya penemuan teknologi kilang pada pertengahan abad ke-19, yaitu penyedia korosen untuk lampu penerangan. Revolusi Industri dan teknologi mesin pembakaran dalam turut meneguhkan signifikansi peran migas dalam perabadan modern.
Migas kemudian menjadi bukan komoditas biasa. Perannya yang penting bagi industri dan rumah tangga menjadikan komoditas ini dianggap sebagai penggerak perekonomian. Maka, tidak mengherankan apabila sudah muncul upaya menguasai industri migas oleh para pelaku bisnis sejak awal perkembangan industri ini. Contoh yang paling nyata adalah kisah perkembangan Standard Oil, perusahaan minyak di Amerika Serikat, yang dipimpin oleh John F. Rockefeller.

Pada saat itu, terjadi akuisisi atau penggabungan bisnis dari industri kilang yang semula adalah pesaing, integrasi bisnis produksi dan transportasi oleh perusahaan swasta, dan pengaturan harga yang tidak sehat. Praktik ini telah mengantarkan Standard Oil menguasai 90% pasar minyak dan menjadikan pemiliknya memiliki kekayaan berlimpah. Namun, praktik monopoli ini menghadirkan ketidakadilan. Akhirnya melahirkan protes sosial dan gerakan politik yang berujung pada terbitnya UU Antimonopoli di Amerika Serikat. Standard Oil Trust pun dibubarkan.

Monopoli dan Penguasaan Negara
Bisnis gas itu unik. Ia melibatkan mata rantai nilai yang panjang. Di bagian hulu, terdapat kegiatan eksplorasi untuk mencari sumber gas dan memproduksinya. Kemudian transmisi atau transportasi, baik menggunakan jasa pemipaan atau kapal. Selanjutnya jasa distribusi dengan perpipaan ke fasilitas para pengguna. Di sana juga ada niaga jual beli gas antara pedagang gas dan pengguna, yaitu masyarakat atau industri pengguna akhir (end users).
Mata rantai bisnis gas yang panjang ini menimbulkan sebuah konsekwensi serius: bisnis gas memerlukan komitmen banyak pihak, jauh sebelum investasi berlangsung. Produsen tidak bisa mengalirkan gas sebelum ada pembelinya karena gas seperti halnya listrik bersifat perisable, artinya harus segera dikirim ke konsumen setelah diproduksi. Gas tidak bisa ditimbun secara praktis dan harus segera digunakan. Bagi konsumen atau pengguna gas, terkadang tidak punya alternatif produsen lain. Akibatnya, dampak monopoli pada sistem yang seperti ini sangat besar.

Di Indonesia, pemilik gas berasal dari perusahaan swasta, perusahaan terbuka yang sahamnya dimiliki bersama-sama pemerintah dan publik, atau badan usaha milik negara (BUMN). Menyediakan ruang monopoli pada bisnis gas kepada perusahaan yang sahamnya tidak sepenuhnya dikuasai negara, atau perusahaan swasta, apalagi melibatkan saham asing, akan membuat kendali negara melemah. Praktik mencari untung sebanyak-banyaknya dengan modal sekecil-kecilnya seperti sifat alamiah dari praktik bisnis tidak dapat dikontrol. Kepentingan publik akan sulit dilindungi.

Harga cenderung mahal sehingga daya saing industri pengguna gas turun. Karakteristik geografis Indonesia yang menggambarkan terdistribusinya lokasi penghasil gas dan pengguna gas serta buruknya infrastruktur gas kemudian dijadikan justifikasi bagi harga gas yang mahal. Ujung semua itu adalah perekonomian nasional terganggu.

Pengelolaan migas adalah soal cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai oleh negara. Hal ini amanat UUD 1945 (Pasal 33 Ayat 2). Itulah sebabnya, UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Rnergi Nasional mengatur bahwa harga energi didasarkan pada prinsip keekonomian berkeadilan.
Harga keekonomian berkeadilan itu mencakup biaya pokok produksi dan keuntungan yang wajar, biaya lingkungan dan konservasi, dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat dan ditetapkan oleh pemerintah. Prinsip ini juga menjamin bahwa usaha di bidang energi dapat berkembang secara berkelanjutan.

Solusi
Integrasi bisnis dari berbagai lini yang terkait dapat menyederhanakan proses dan menekan biaya produksi. Konsilidasi aset dapat meningkatkan kinerja keuangan perusahaan. Dalam konteks gas, integrasi bisnis eksplorasi, produksi, transmisi, distribusi dan niaga dapat membuat biaya semakin efisien. Jika integrasi ini hendak dilakukan, kendali atau penguasaan oleh negara dilaksanakan melalui BUMN yang sepenuhnya milik negara.

Alternatifnya, infrastruktur perpinaan dikelola secara akses terbuka (open acess). Perusahaan swasta dicegah menggabungkan peran sebagai pengelola pipa dan sekaligus berniaga gas. Pengelola pipa mendapatkan kesempatan menyewakan infrastruktur pipa dengan mendapatkan biaya jasa angkut (toll fee) yang wajar dan menguntungkan. Dengan demikian, kesempatan berbisnis tetap terbuka. Dunia usaha dan koperasi dapat berperan serta. Namun, bukan untuk monopoli.

Pendekatan di atas banyak dijumpai di negara lain. Adapun di Indonesia, pelaku bisnis gas yang utama adalah Pertagas dan PGN. Saham Pertagas adalah milik PT Pertamina (Persero) yang sepenuhnya milik negara. Sementara PGN adalah perusahaan terbuka, yang sebagian sahamnya dikuasai publik, termasuk penanaman modal asing. Jika pemerintah bermaksud menggabungkan dua perusahaan ini, kita berharap agar pemerintah selalu sadar atas hikmah sejarah pada awal tulisan ini: hindari monopoli oleh perusahaan yang tidak sepenuhnya dikuasai negara.

Jika benar akan terjadi penggabungan Pertagas dan PGN menjadi sebuah holding gas; atau opsi lain semacam pembentukan joint committee sebagai payung sinergi antara Pertagas dan PGN sebagai sebuah solusi termudah untuk mengatasi tumpang tindih pembangunan pipa dan penyaluran gas, pemerintah harus mengambil keputusan yang tepat yang berlandaskan konstitusi dan mengacu pada peraturan perundangan-undangan yang berlaku. (**)