Peningkatan kembali harga komoditas energi di pasar global berpotensi meningkatkan harga dan/atau kebutuhan anggaran subsidi energi di dalam negeri. Data menunjukkan harga minyak dunia baik untuk jenis WTI dan BRENT tercatat mengalami peningkatan dan menyentuh level tertinggi dalam sepuluh bulan terakhir.

Peningkatan harga energi global tersebut berpotensi memberikan tekanan mengingat stabilitas makro ekonomi kemungkinan akan menjadi fokus utama pemerintah untuk tahun anggaran 2023-2024. Berbagai kondisi terutama terkait dengan tahun politik berpotensi semakin menjadikan stabilitas makro ekonomi sebagai prioritas utama pemerintah. Stabilitas makro ekonomi seringkali diyakini menjadi penentu terhadap stabilitas sosial dan stabilitas politik.

Dari perspektif kebijakan fiskal, kemungkinan salah satu yang akan menjadi prioritas pemerintah pada tahun anggaran 2023-2024 adalah mencapai stabilitas makro ekonomi. Hal itu salah satunya karena ketentuan UU No.2/2020, menetapkan bahwa pelonggaran mengenai ketentuan defisit APBN diperbolehkan melampaui 3 % PDB paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022. UU No.2/2020 menetapkan bahwa sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit APBN akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3 % dari PDB.

Besaran defisit APBN paling tinggi sebesar 3 % dari PDB akan lebih berpeluang untuk dapat dicapai jika terjadi stabilitas makro ekonomi. Dengan stabilitas makro ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, penerimaan pajak berpotensi dapat lebih besar meskipun tax ratio masih relatif sama. Meningkatnya penerimaan pajak secara relatif akan menurunkan defisit APBN.

Kebijakan untuk tetap mempertahankan harga energi kemungkinan masih akan digunakan sebagai salah satu instrumen utama untuk mencapai stabilitas makro ekonomi sampai dengan akhir tahun anggaran 2023 bahkan dapat berlanjut untuk tahun anggaran 2024. Jika mencermati asumsi makro energi yang ditetapkan dalam APBN, harga energi kemungkinan masih akan tetap dipertahankan untuk tahun anggaran 2023-2024. Hal tersebut diantaranya tercermin dari asumsi volume BBM subsidi, volume LPG subsidi, dan nilai subsidi listrik pada APBN 2023 dan APBN 2024 justru tercatat lebih tinggi jika dibandingkan dengan asumsi APBN 2021 dan APBN 2022.

Data dan informasi mengenai kontribusi energi sebagai salah satu komponen utama pembentuk inflasi di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir kemungkinan akan semakin memperbesar peluang pemerintah untuk memberlakukan kebijakan harga energi murah di tahun anggaran 2023-2024. Berdasarkan laporan data sosial ekonomi, BBM menjadi salah satu komoditas utama penyumbang inflasi. Untuk laporan data sosial ekonomi periode Agustus 2023 misalnya, bensin dilaporkan menjadi kontributor terbesar dalam pembentukan inflasi dibandingkan komoditas yang lainnya.

Meskipun kebijakan mempertahankan harga energi relatif positif untuk kepentingan stabilitas makro ekonomi dalam jangka pendek, kebijakan tersebut berpotensi menjadi beban dan kontraproduktif terhadap perekonomian dalam jangka panjang. Biaya fiskal dan ekonomi yang diperlukan untuk mempertahankan kebijakan harga energi murah di dalam jangka panjang sangat besar dan berpotensi menjadi beban perekonomian secara keseluruhan.

Kebijakan mempertahankan harga energi dapat menjadi penyebab industri energi di dalam negeri tidak berkembang dan memicu ketergantungan terhadap impor energi yang semakin besar. Dalam tingkatan tertentu, kondisi tersebut pada dasarnya telah terjadi pada Indonesia. Impor minyak mentah dan produk BBM Indonesia tercatat meningkat dari 169 juta barel pada tahun 2000 menjadi 279 juta barel pada 2022 dan impor LPG juga meningkat dari 22 ribu ton pada tahun 2005 menjadi 6,73 juta ton pada tahun 2022.

Kebijakan mempertahankan harga energi di bawah harga wajar juga diidentifikasi menjadi penyebab pengembangan infrastruktur energi dan pengusahaan EBT di dalam negeri relatif stagnan. Kapasitas kilang Indonesia tercatat hanya bertambah dari 1,05 juta barel per hari pada 2006 menjadi 1,15 juta barel pada 2022. Pembangunan infrastruktur jaringan gas juga relatif lambat dan beberapa diantaranya sampai harus diintervensi oleh pemerintah seperti pembangunan pipa gas Cirebon-Semarang (Cisem). Kebijakan harga energi juga menjadi penyebab pengembangan dan pengusahaan EBT -salah satunya panas bumi- menjadi relatif lambat. Dengan sumber daya panas bumi dilaporkan sekitar 27.000 MW, kapasitas pembangkit listrik panas bumi Indonesia hanya bertambah dari 852 MW pada 2006 menjadi 2.360 MW pada 2022.

Mencermati kondisi yang ada tersebut, kiranya sudah saatnya pemerintah merubah kebijakan dan mekanisme pemberian subsidi dari subsidi terhadap harga produk menjadi subsidi terhadap penerima manfaat. Kebijakan subsidi terhadap harga produk berpotensi menimbulkan permasalahan yang umumnya hanya masalah waktu dan akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kapasitas fiskal mampu memberikan toleransi terhadap permasalahan yang ada tersebut.

Penerapan kebijakan subsidi yang diberlakukan secara targeted/closed subsidi atau kebijakan pemberian insentif untuk kelompok tertentu dapat menjadi solusi untuk dapat menjaga stabilitas makro ekonomi dan secara paralel memperbaiki iklim investasi sektor energi di Indonesia. Dengan mekanisme kebijakan subsidi tertutup atau subsidi langsung tujuan untuk mencapai stabilitas makro ekonomi tetap dapat dicapai dengan alokasi anggaran subsidi yang lebih terukur. Dengan kebijakan tersebut, ruang untuk mendorong pengembangan dan pengusahaan sektor energi di dalam negeri melalui kebijakan harga energi yang lebih wajar dan pemberian insentif secara langsung -jika diperlukan- dapat lebih terbuka.

Meskipun tidak mudah dan harus dilakukan dengan kerja keras oleh seluruh stakeholder, perubahan kebijakan dan mekanisme pemberian subsidi dapat dikatakan sebagai keniscayaan. Pilihan mekanisme distribusi tertutup jika masih menggunakan kebijakan subsidi terhadap harga produk masih akan menyisakan sejumlah masalah. Karena itu, pilihan terhadap mekanisme subsidi langsung pada dasarnya merupakan keharusan. Jika tidak, kita semua hanya akan berputar-putar, sulit menemukan solusi, dan terperangkap pada permasalahan yang sama dari waktu ke waktu.