Peningkatkan daya saing dan kapasitas industri nasional melalui penyesuaian harga gas bumi telah lama menjadi prioritas pemerintah. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 40/2016, Peraturan Menteri ESDM No 8 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) di Bidang Industri dan sejumlah aturan pelaksananya pemerintah menetapkan harga gas di plant gate konsumen industri di tanah air tidak lebih dari 6 USD per juta British Thermal Unit (MMBTU). Penurunan harga gas bumi untuk industri dilakukan melalui pengurangan penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu gas bumi dan efisiensi biaya penyaluran midstream dan downstream gas bumi.

Landasan pemikiran dari kebijakan ini adalah bahwa harga gas diinformasikan memiliki porsi yang cukup besar di dalam struktur biaya produksi di sejumlah industri nasional. Sementara rata – rata harga jual gas hulu nasional disebutkan masih lebih tinggi dibandingkan rata – rata harga jual gas di negara ASEAN lainnya.

Atas dasar tersebut, kebijakan harga gas bumi tertentu untuk industri diterbitkan dengan harapan dapat memberikan sejumlah manfaat diantaranya (1) mendorong terciptanya multiplier effect dan pertumbuhan ekonomi, termasuk lapangan kerja, (2) penurunan beban subsidi pupuk dan listrik, serta kompensasi listrik, (3) mendukung program swasembada dan ketahanan pangan melalui harga pupuk murah.

Biaya dan Manfaat

Meskipun berpotensi memberikan sejumlah manfaat, implementasi kebijakan HGBT tercatat juga menimbulkan sejumlah konsekuensi baik dalam aspek fiskal, moneter dan bagi pelaku usaha di dalam rantai bisnis gas bumi.

Dari aspek fiskal, implementasi kebijakan HGBT memiliki dampak langsung terhadap penurunan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor hulu migas. Berdasarkan data Kementerian ESDM (2023), penurunan pendapatan negara akibat kebijakan HGBT telah mencapai lebih dari Rp 30 triliun.

Realisasi PNBP pemerintah dari sektor hulu gas bumi menurun dari 454 juta USD atau sekitar Rp 6,81 triliun pada tahun 2020, menjadi 1.159 juta USD atau sekitar Rp 17,38 triliun pada tahun 2021, dan kemudian turun lagi menjadi 878,24 juta USD atau sekitar Rp 12,93 triliun pada tahun 2022.

Bagi industri migas, kebijakan penurunan harga gas juga menguatnya sentimen negatif berkaitan dengan kondusivitas iklim investasi di sektor hulu dan hilir gas secara keseluruhan. Implementasi kebijakan HGBT terindikasi memiliki dampak negatif pada kinerja keuangan perusahaan di sektor midstream. Pelaku usaha di sektor midstream diharuskan menyesuaikan tarif, biaya, dan mengendalikan margin usaha mereka sebagai respons terhadap kebijakan tersebut. Dalam hal ini, implementasi kebijakan HGBT terindikasi turut berkontribusi terhadap penurunan pendapatan keuangan yang dialami oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk pada tahun 2020, yang mencapai 264,7 juta USD.

Secara konseptual, konsekuensi dari penerapan kebijakan HGBT di atas kemudian diharapkan akan terkompensasi oleh meningkatkan penerimaan pajak dan dividen serta volume serapan gas bumi dari sektor industri pengguna gas.

Namun demikian, manfaat dari implementasi kebijakan HGBT relatif belum sesuai dengan perkiraan awal. Dalam hal volume serapan gas misalnya, data Kementerian Perindustrian, 2023 menyebutkan bahwa serapan gas dari industri penerima HGBT masih belum optimal, sepanjang periode 2020 hingga 2022, serapan gas untuk industri penerima gas rata-rata berada di kisaran 77% sampai 85% dari total volume gas yang dialokasikan.

Realisasi penerimaan pajak dari sektor industri penerima kebijakan HGBT juga masih bervariasi. Pada 2020 dan 2021, realisasi penerimaan pajak dari sektor industri penerima kebijakan HGBT tercatat masih berada di bawah pencapaian pada 2019 atau sebelum diimplementasikannya HGBT. Untuk 2021, tercatat hanya industri pupuk dan sarung tangan karet yang berhasil mencatatkan kinerja pajak di atas capaian 2019.

Dalam hal penyerapan tenaga kerja, berdasarkan data Kementerian ESDM (2022), selama periode 2019 hingga 2021 terdapat peningkatan jumlah tenaga kerja setiap tahunnya pada industri penerima kebijakan HGBT. Pada 2020, terdapat peningkatan jumlah tenaga kerja sebesar 4.532 atau 1% dibandingkan dengan 2019. Sedangkan pada 2021 jumlah tenaga kerja meningkat sebesar 7% atau sebesar 8.561 dibandingkan dengan 2020.

 

Hal tersebut terjadi di sebagian industri penerima HGBT seperti oleokimia, industri gelas kaca, dan industri sarung tangan karet, namun tidak pada industri pupuk – sebagai industri yang terbilang menyerap gas dalam jumlah besar. Dengan kata lain, selain tidak cukup konklusif dan menyakinkan bahwa hal tersebut disebabkan oleh kebijakan HGBT, sederet manfaat yang dapat dihasilkannya tampaknya juga masih bersifat potensial.

 

Gas Bumi dan Daya Saing Industri Nasional

Hasil identifikasi ReforMiner menemukan, daya saing sektor industri nasional lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor lain di luar harga gas. Harga gas pada dasarnya hanya merupakan salah satu komponen untuk menurunkan biaya input produksi (menaikkan cost competitiveness secara relatif).  Cost competitiveness hanya salah satu  dari multi-faktor  lain  yang mempengaruhi daya saing.

Merujuk Porter Diamond Model, daya saing industri paling tidak ditentukan oleh empat faktor utama yaitu resource element, market demand, industrial strategy, dan support industry.

Harga gas khusus hanya merupakan salah satu komponen dari variabel support industry yang akan mempengaruhi biaya input produksi secara relatif. Di Indonesia pun, biaya untuk penyediaan gas bumi hanya merupakan salah satu komponen biaya input kegiatan produksi yang dilakukan sektor industri.

Publikasi Prasetyawati (2022) dan Setiawan (2019) juga menyebutkan bahwa perlambatan pertumbuhan yang dialami sektor industri di dalam beberapa tahun terakhir diduga disebabkan antara lain karena permasalahan bahan baku yang masih didominasi impor, infrastruktur yang tidak memadai, kurangnya tenaga ahli terampil, regulasi ketenagakerjaan, tekanan produk impor dan permasalahan biaya produksi dimana harga gas menjadi salah satu komponen di dalamnya.

Sementara berdasarkan data Kementerian Koordinator Perekonomian (2020), porsi gas bumi di dalam struktur biaya input untuk produksi di sektor industri bervariasi. Untuk industri pupuk dan petrokimia, komponen biaya gas memiliki porsi hingga 70% dalam struktur biaya produksi tersebut. Sementara untuk industri lainnya komponen gas hanya berkontribusi sekitar 3% hingga 26% dari struktur biaya produksi di industri tersebut.

Penerapan Kebijakan Proporsional

Mencermati data, informasi, dan fakta yang ada, pengambil kebijakan kiranya perlu meninjau kembali kebijakan HGBT yang dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing industri nasional.

Sebagai penentu dan pengambil kebijakan utama terkait harga gas bumi nasional, pemerintah perlu memastikan bahwa harga yang ditetapkan mampu menjaga keberlanjutan bisnis seluruh mata rantai bisnis gas. Baik dari sisi hulu, midstream, downstream maupun konsumen akhir pengguna gas di hilir. Harga, di setiap segmen mata rantai penyediaan gas, perlu diatur sesuai dengan nilai keekonomiannya dan memberikan sinyal adanya jaminan pengembalian investasi yang menarik.

Intervensi secara proporsional dari pemerintah menjadi instrumen kebijakan lanjutan yang kemudian dapat dipertimbangkan oleh pemerintah di dalam mengatasi potensi terjadinya kegagalan pasar yang disebabkan karena kebijakan harga yang didasarkan pada prinsip keekonomian.

Bentuk intervensi secara proporsional yang dapat dilakukan diantaranya melalui pemberian insentif fiskal secara langsung kepada industri pengguna gas; dan/atau pemberian jaminan fiskal kepada badan usaha yang mendapat penugasan di dalam melakukan kegiatan jual-beli gas bumi. Dengan mekanisme subsidi langsung, tujuan untuk mencapai daya saing industri nasional tetap dapat dicapai dengan meminimalkan dampak negatif yang timbul, baik di sisi penerimaan negara maupun di sisi kondusivitas iklim usaha di sektor hulu dan midstream gas nasional.