JAKARTA – Kebijakan relaksasi ekspor mineral mentah dinilai akan terus meningkatkan laju eksploitasi sumber daya alam, di tengah rendahnya daya dukung lingkungan dan kerawanan konflik sosial dari kegiatan pertambangan yang banyak terjadi di daerah.
Sesuai Laporan dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) tahun 2016 menyebutkan bahwa kebijakan larangan ekspor mineral mentah telah menurunkan praktik pertambangan ilegal.

Hermawansyah, Direktur Swandiri Institute Kalimantan Barat, mengungkapkan bahwa dengan dibukanya keran ekspor mineral mentah, maka dapat dipastikan memicu keberadaan pertambangan ilegal.

“Dalam laporan tersebut (LPEM UI), yang dimaksud dengan pertambangan ilegal bukan terbatas pada aktivitas yang tidak berizin, melainkan dapat berbentuk perusahaan berizin tetapi berproduksi di atas kuota atau menambang di luar areal yang diizinkan, atau menjalankan praktek pertambangan yang tidak baik,” kata Hermawansyah.

Dia mengatakan, sejalan dengan laporan LPEM UI, Swandiri Institute bersama dengan jaringan Eyes of the Forest (EoF) Kalimantan Barat menemukan bahwa 95% Izin Usaha Pertambangan (IUP) berstatus Clean and Clear (CnC) yang tumpang tindih dengan kawasan hutan tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).

“Kami tidak bisa membayangkan kerusakan seperti apalagi yang akan menghancurkan bumi Kalimantan Barat,” ujarnya.
Hermawansyah menjelaskan bahwa kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah dan olahan merupakan bagian dari upaya pengendalian penerbitan IUP sekaligus sejalan dengan upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Kementerian ESDM dan instansi lainnya untuk melakukan penataan IUP dimana sampai dengan 20 Desember 2016 lalu, masih terdapat sekitar 3.386 IUP berstatus Non-CnC, dimana sekitar 2000-an diantaranya adalah IUP Mineral.

Rizky Ananda, Peneliti PWYP Indonesia, mengungkapkan bahwa kebijakan relaksasi ekspor mineral mentah telah mengingkari janji pemerintahan Jokowi-JK dalam Nawa Cita yaitu kebijakan Peningkatan Nilai Tambah (PNT) sektor pertambangan.

“Pemerintah seharusnya lebih sibuk untuk merumuskan strategi yang menyeluruh dari hulu hingga hilir guna menjamin implementasi kebijakan di sektor minerba, memastikan progress seluruh pembangunan smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian) mineral, sekaligus melakukan koordinasi dengan kementerian yang terkait untuk dengan pengembangan industri hilir,” tandas Rizky.(RA)