JAKARTA – Pemberian fasilitas gas dengan harga yang murah dinilai tidak bisa disamaratakan ke semua sektor Industri. Gas murah harus ditujukan bagi pengguna yang benar-benar membutuhkan dan menjadikan gas sebagai komoditas utama dalam kegiatan produksi serta berdampak pada produktivitas hasil produksi.

Sampe L. Purba, Kepala Divisi Komersialisasi Gas Bumi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas), mengatakan pada dasarnya anatomi perdagangan gas ada tiga aspek. Pertama gas dari produsen dijual ke pengguna (industri) akhir, kemudian gas ke shipper atau transporter atau trader dan kemudian terakhir gas dijual langsung ke end user.

Belum lagi juga harus diperhatikan adalah dalam penggunaannya nanti gas tersebut apakah digunakan sebagai bahan baku atau gas dijadikan bahan bakar untuk produksi. Misalnya, industri pupuk menjadikan gas sebagai bahan baku pupuk tapi untuk industri kaca, gas dijadikan sebagai bahan bakar untuk produksi.

“Artinya, kalau kita ingin gas murah, murahnya ke siapa? Apakah untuk pabrik pupuknya, atau untuk komoditasnya, atau untuk penggunanya?,” kata Sampe di Jakarta, Kamis (16/2).

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan manfaat penggunaan gas terbesar atau lebih dari 50 persen produksi adalah untuk industri pupuk dan petrokimia. Sisanya seperti industri baja, keramik, makanan serta tekstil yang hanya memerlukan gas sekitar 10 persen-30 persen dari kebutuhan produksi, baik sebagai bahan produksi (bahan baku) atau sebagai bahan bakar (energi).

Sampe menuturkan dalam penetapan harga gas bumi beberapa formulasi digunakan dalam penentuan harga. Pertama ada harga gas yang berhubungan dengan harga minyak. Kedua harga gas yang dihubungan dengan produk dari hasil gas yang digunakan. Formula ketiga harga gas di link dengan harga subtitusi, keempat harga gas yang tetap tidak di link kemana mana atau statis yang dilink dengan harga tetap dan bereskalasi sedemikan rupa untuk gambarkan seluruh biayanya.

“Misalnya harga domestik pipe line itu tidak link dengan harga minyak. ketika harga minyak US$ 100-an harganya relatif tidak mengalami kenaikan. Yang jadi persoalan, ketika harga minyak turun tapi harga gas bisa jadi sama dengan minyak, harga gas tidak mengalami penurunan yang diharapkan,” paparnya.

Lebih lanjut, Sampe menjelaskan bahwa kondisi industri gas di Indonesia secara langsung memaksa adanya tambahan berbagai biaya dalam penyaluran gas. Ini disebabkan oleh keterbatasan kondisi infrastruktur yang bisa menyalurkan gas dari sumber ke pengguna.

Dengan adanya kondisi tersebut maka gas pada akhirnya akan disalurkan oleh para pemilik infrastruktur yang tentunya akan mematok harga lagi yang berbeda sebagai kompensasi penggunana infrastruktur yang mereka miliki. “Di upstream tidak punya pilihan karena gas tidak bisa dibawa seperti minyak jadi harus gunakan fasilitas yang ada,” kata dia.

Menurut Sampe ada dua poin utama yang harus diperhatikan jika memang harga gas Indonesia saat ini dikatakan tidak ekonomis dan harus diturunkan. “Berapa banyak kontribusi gas dalam cost of production? Lalu apabila diberikan dengan harga gas yang sama apakah bisa memberikan produktifitas yang sama,” katanya.(RI)