JAKARTA – Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2018 menegaskan dekade 2020-2030 adalah dekade menentukan. Perubahan fundamental harus terjadi pada dekade tersebut agar zero net emission secara global tercapai pada 2050, dan pemanasan global bisa berada di bawah 1,5 derajat Celsius pada akhir abad ini.

Leonard Simanjuntak, Country Director Greenpeace Indonesia, mengatakan Indonesia termasuk 10 besar pengemisi karbon global. Oleh karena itu, komitmen nasional harus berkontribusi signifikan pada komitmen global yang Iebih ambisius.

“Seharusnya bila kita ingin transisi energi segera, maka listrik dari energi terbarukan harus mulai mengganti listrik dari batu bara di wilayah beban puncak, seperti Jawa, Madura, Bali secara progresif dan masif,” kata Leonard, baru-baru ini.

Menurut dia, tidak mungkin mencapai bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) 23% pada 2025 dan 31% pada 2030 jika fokus penyediaan energi terbarukan hanya pada daerah belum berkembang, terpencil dan daerah pedesaan. Oleh karena itu diperlukan referensi ekspansi energi terbarukan agar Indonesia mencapai zero net emission pada 2050.

“Tidak ada pasal atau referensi yang mendorong sektor perbankan dan lembaga keuangan non bank mempunyai insentif agar mendorong ekspansi energi terbarukan,” kata Leonard.

Selain itu, kata dia, konsep sertifikasi energi terbarukan harus jelas, agar tidak menjadi ‘escape route’ untuk industri yang tidak segera menunjukkan komitmennya pada transisi energi.

Leonard mengatakan, untuk coal bed methane, liquilied coal, gasified coal, seluruhnya adalah bentuk baru dari energi batu bara. Tidak membantu dalam konteks pengurangan emisi karbon.

“Keekonomian skema ‘batu bara baru’ ini masih meragukan,” ujarnya.

Menurut Leonard, saat ini Indonesia masih memiliki 27 Gigawatt (GW) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara ‘in the pipelines’ untuk memenuhi skenario 35 GW yang sudah saatnya direvisi.

“Tentunya akan menuju oversupply 40- 50% pada 2029 apabila semua PLTU batu bara ‘in the pipelines’ tersebut dibangun,” kata dia.

Indonesia sebagai salah satu negara ekonomi terbesar di dunia, dan penyumbang 3,5-4 % total emisi dunia, seharusnya tidak lepas dari upaya mengatasi pemanasan global dan ancaman perubahan iklim. Pada 2015, Presiden Joko Widodo menyatakan persetujuan pada Paris Agreement pada COP-23, dan pada tahun 2016, pemerintah Indonesia meratifikasi Paris Agreement melalui UU No. 16/2016. Pada tahun 2016, pemerintah Indonesia menyampaikan komitmen penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29-41 % pada tahun 2030 yang dinyatakan dalam Nationally Determined Contribution (NDC).

Menurut proyeksi Climate Action Tracker (CAT, 2018) emisi GRK Indonesia dari sektor energi, transportasi, sampah, dan industri (tidak termasuk LULUCF) diperkirakan mencapai 1573-1751 juta tCO2eq pada tahun 2030. Jumlah ini setara dengan 3,75-4 % dari emisi GRK global yang diperkirakan mencapai 40 Giga-ton CO2eq. Dari total emisi GRK Indonesia di 2030, pembangkitan listrik menyumbang 400 juta tonCO2eq.

CAT menilai komitmen penurunan emisi Indonesia dalam NDC tidak selaras (compatible) dengan target temperatur Paris Agreement, baik 1,5 derajat C maupun 2 derajat C. Untuk setara dengan target 2 derajat C, emisi GRK harus menjadi 1075 juta tCO2eq pada 2030, dan untuk mendukung pencapaian 1,5 derajat C emisi GRK harus turun menjadi 523 juta tCO2eq.

Untuk dapat mendorong Indonesia pada jalur 1,5 derajat C maka Indonesia perlu melakukan aksi mitigasi yang drastis pada dua sektor utama, yaitu pembangkitan listrik dan transportasi. Untuk pembangkitan listrik, pada tahun 2030 emisi GRK dari sub-sektor ini harus memotong setengah dari emisi pembangkitan listrik atau setara dengan total emisi sektor kelistrikan pada   2019.

Untuk mencapai tingkat emisi tersebut, maka separuh dari pembangkit listrik batu bara harus dipensiunkan secara bertahap mulai 2025 – 2030, dan sisanya harus diakhiri secara bertahap hingga tahun 2050. Selain itu, setelah 2025 pembangunan PLTU baru tidak lagi diperbolehkan. Konsekuensinya adalah pembangunan pembangkit energi terbarukan harus dipercepat dan jumlahnya lebih besar daripada target yang ditetapkan di Kebijakan Energi Nasional (KEN).

“Harus mengurangi komitmen PLTU batu bara, mulai dengan membatalkan 8 GW yang belum masuk tahap konstruksi,” tandas Leonard.(RA)