JAKARTA – Tim operasi gabungan penertiban tambang ilegal berhasil menghentikan penambangan ilegal galian C di dalam kawasan Hutan Lindung Remu, Kota Sorong, Kamis (24/9). Saat ini, petugas telah mengamankan sejumlah alat berat dan alat transportasi dan memeriksa 57 orang operator yang ada dilokasi.

Tim operasi gabungan terdiri dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Balai Pengamanan dan Penegakkan Hukum (Gakkum) KLHK Wilayah Maluku Papua, bersama-sama dengan Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan, Korwas PPNS Ditreskrimsus Polda Papua Barat, Denpom XVII/1 Sorong, Satuan Batalion B Pelopor Sat Brimob Polda Papua Barat, dan KPHL Unit II Sorong.

Leonardo Gultom, Kepala Balai Gakkum KLHK Wilayah Maluku-Papua, yang memimpin langsung operasi penghentian tambang ilegal tersebut mengatakan saat ini tim sedang memeriksa dan meminta keterangan dari 57 operator yang diamankan. “Apabila cukup bukti yang mengarah kepada tindak pidana, penyidik akan melanjutkan ke tingkat penyidikan,” kata Gultom, dalam keterangan resminya Senin (28/9).

Gultom menambahkan, operasi gabungan dilakukan untuk merespon pengaduan masyarakat atas masifnya penambangan ilegal galian C di kawasan Hutan Lindung Remu, Kota Sorong, yang mengakibatkan hilangnya wilayah serapan air dan meningkatkan resiko bencana. Dampak dari penambangan ilegal mengakibatkan banjir dan tanah longsor.

Runaweri F, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat, menekankan pihaknya mendukung kegiatan operasi di kawasan Hutan Lindung Remu Kota Sorong karena kegiatan penambangan illegal tersebut sudah terjadi bertahun-tahun sehingga merusak tutupan hutan dan merugikan kelestarian alam. Lokasi penambangan illegal tersebut berada dalam kawasan hutan lindung berdasarkan pada Surat Keputusan (SK) No.783/Menhut-II/2004 tanggal 22 September 2014 sehingga berdasarkan pada SK tersebut kegiatan penambangan jelas-jelas melanggar ketentuan undang-undang.

Dukungan juga disampaikan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Abdul Latief Suaeri. Dampak dari penambangan illegal telah merusak kondisi lingkungan di Kota Sorong, banjir dan tanah longsor adalah bukti telah adanya kerusakan ekologis di Kota Sorong. “Penegakan hukum lingkungan mutlak dilakukan untuk membangun kesadaran kolektif masyarakat dan sekaligus menjadi alat pemerintah untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup,” kata Abdul.

Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum LHK, mengatakan kejahatan penambangan ilegal dan perusakan kawasan hutan harus ditindak tegas dan pelakunya dihukum seberat-beratnya. Dampak dari kejahatan ini jelas sekali merusak lingkungan dan membahayakan masyarakat, serta sangat merugikan negara. “Harus kami hentikan sekelompok orang yang melakukan kejahatan untuk memperkaya diri mereka dengan mengorbankan lingkungan dan masyarakat serta merugikan negara,” kata dia.

Rasio Sani mengingatkan bahwa KLHK tidak akan berhenti menindak tegas pelaku kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan, termasuk kejahatan penambangan ilegal di kawasan hutan. “Kami akan terus memburu pelaku yang menjadi otak penambangan ilegal galian C dikawasan hutan ini,” ujar dia.

Para pelaku penambangan ilegal akan ditindak dengan pidana berlapis baik menggunakan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) maupun UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Pelaku akan dikenakan Pidana Berlapis yaitu Pasal 17 Ayat 1 Jo. Pasal 89 Ayat1 dan Ayat 2 Undang-Undang No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman penjara pidana paling lama 20 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50 miliar. Penyidik juga akan menggunakan Pasal 98 dan/atau Pasal 109 Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp15 miliar. “Operasi penegakan hukum ini menjadi peringatan bagi pelaku kejahatan atas sumber daya alam,” tandas Rasio Sani.(RA)