KEGIATAN tambang saat ini bukan lagi semata bagaimana mengeruk sumber daya alam sebanyak mungkin. Berbagai tantangan yang terus berkembang baik teknis maupun nonteknis di lokasi tambang memaksa perusahaan memutar otak mencari solusi, terutama dari sisi biaya produksi yang terus membengkak.

Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dalam beberapa kesempatan selalu mengingatkan para pelaku usaha tambang untuk tidak berhenti berkembang guna meningkatkan efisiensi. Menteri Jonan menegaskan bahwa permainan sekarang adalah tentang efisiensi. “Sekarang itu game-nya efisiensi, semua harus ditekan biaya produksi,” katanya.

Meningkatkan efisiensi dalam kegiatan tambang bukan perkara mudah. Perlu riset dan inovasi teknologi mumpuni yang sudah teruji. Pasalnya bisnis tambang adalah bisnis yang penuh dengan risiko. Risiko itu biasanya ditekan dengan penggunaan teknologi yang sudah terbukti hasilnya, karena itu penggunaan teknologi tersebut bisa bertahan lama. Jika terlalu terburu-buru gunakan teknologi baru, alih-alih hasilkan efisiensi justru rugi nantinya didapatkan.

Hal itu disadari betul oleh PT Vale Indonesia (INCO) dalam mengupayakan inovasi kegiatan operasinya. PT Vale Indonesia unit Sorowako pada awal tahun ini telah melaksanakan amanat dari pemerintah untuk terus berinovasi dalam kegiatan tambang dengan beroperasinya boiler bertenaga listrik.

Boiler listrik yang dioperasikan bukan boiler biasa karena sumber tenaga listriknya berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT) Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Air (PLTA).

Proses produksi nikel menggunakan boiler uap yang dihasilkan alat ini berguna untuk proses atomisasi di burner rotary dryer dan reduction kiln, memanaskan sulfur yang digunakan pada proses reduction kiln dan berfungsi untuk memanaskan pipa bahan bakar.

Zainuddin, Supervisor Mechanical and Civil Process Plant & Utilities Engineering Vale Indonesia, mengungkapkan dengan kemampuan boiler baru ini maka efisiensi dari sisi waktu maupun biaya cukup signifikan.

Boiler Vale bisa memproduksi uap dalam tempo hanya 10 menit dari kondisi warm. Sementara dengan teknologi sebelumnya diperlukan waktu beberapa jam.

“Untuk biaya operasinya, boiler ini lebih murah 33 kali dibanding model sebelumnya atau menghemat sekitar US$ 5 juta per tahun,” kata Zainuddin.

Meskipun membutuhkan biaya besar atau sekitar US$ 3,9 Juta, kemampuan boiler listrik Vale Indonesia dengan power sebesar 8 megawatt (MW) tidak main-main. Dengan kisaran produksi uap 11,37 ton/jam, maka penggunaan bahan bakar high sulfur fuel oil (HSFO) sebesar 67.047 barel per tahun bisa diganti.

Substitusi bahan baku energi ini tentu membuat kegiatan operasi jauh lebih efisien. Tidak digunakannnya lagi HSFO turut berikan kontribusi terhadap penurunan biaya produksi uap bisa dihemat mencapai US$ 5.029.933 per tahun atau setara dengan Rp 70.419.060.785 per tahun (kurs: Rp14.000/US$). Jika dirinci penghematan tersebut berasal dari biaya produksi uap dengan boiler listrik US$1,63/ton steam.hr. Kemudian biaya listrik dari PLTA US$2,45/MWh. Serta konsumsi listrik boiler 0,67 MWh/ton steam.hr.

Bouman T Situmorang, praktisi metalurgi, mengungkapkan bahwa perusahaan biasanya lebih memilih untuk menggunakan BBM ataupun gas off (gas buang) sebagai bahan bakar boiler.

Cukup jarang perusahaan mau berinvestasi besar mengembangkan boiler electric berbasis EBT. Salah satu tantangannya tentu adalah biaya pengembangan boiler electric tersebut yang membutuhkan biaya tidak sedikit. “EBT masih mahal jadi saat ini ya masih menggunakan bahan bakar entah minyak coal atau gas,” kata Bouman.

Menurut dia, meski biaya yang dibutuhkan besar tapi jika menggunakan boiler electric bisa dirasakan dengan dari sisi efisiensi pembakaran. “Efisiensi pembakaran jadi lebih bagus,” tukasnya.

Penggunaan EBT dalam operasional Vale Indonesia boleh dikatakan sebagai pionir dalam pengembangan energi berkelanjutan di Tanah Air. Maklum saja pembangunan serta pengoperasian diinisiasi pada akhir tahun 70-an melalui PLTA Larona yang mulai beroperasi pada 1979 dengan kapasitas 165 MW. Kemudian disusul dua unit PLTA lain yaitu PLTA Balambano 110 MW pada 1999 dan PLTA Karebbe 90 MW tahun 2011. Tiga sumber energi bersih tersebut menghasilkan energi total 365 MW yang mampu menurunkan ketergantungan Perusahaan terhadap bahan bakar fosil untuk menyuplai energi ke pabrik pengolahan.

Ali Ahmudi, Pengamat Energi dan peneliti Center for Energy and Food Security Studies (CEFSS), menjelaskan HSFO berkadar sulfur tinggi. Ini sangat tidak ramah lingkungan karena tinggi emisi, terutama SOx (seperti halnya Batubara yang tinggi SOx dan NOx).

Analogi sederhana boiler listrik dengan boiler non-listrik adalah sama seperti memasak nasi dengan panci berbahan bakar kayu dan rice cooker (listrik). Sekilas langsung bisa diketahui bahwa rice cooker akan lebih ramah lingkungan karena rendah tanpa emisi. Perhitungan emisi bukan pada alat masaknya, melainkan pada sumber litriknya. Jika listrik berasal dari pembangkit berbahan bakar energi terbarukan, apalagi PLTA yang emisinya sangat rendah (secara teoretis mendekati nol), pastinya emisi alat tersebut juga rendah emisi.

“Dalam kasus Vale Indonesia menggunakan boiler listrik yang sumber listriknya berasal dari PLTA milik sendiri, bisa dipastikan bahwa emisinya rendah (bisa mendekati nol),” kata Ali.

Bayu Aji, Senior Manager Communication Vale Indonesia, menjelaskan tenaga air dipilih karena besarnya sumber daya air dari tiga danau di sekitar Sorowako yakni Danau Matano, Mahalona, dan Towuti. Selain itu, PLTA lebih ramah lingkungan dibandingkan pembangkit listrik termal berbahan bakar fosil. “Operasional PLTA yang ramah lingkungan berkontribusi mereduksi emisi karbon sebesar 500.000 ton CO2eq per tahun,” ujar Bayu.

Ketiga PLTA tersebut selain sebagai sumber tenaga boiler juga memiliki fungsi utama sebagai pemasok tenaga listrik untuk mengoperasikan furnace alias tahap tanur peleburan dan pengolahan bijih nikel di pusat pengolahan (process plant).

“Energi listrik yang dihasilkan tiga PLTA tersebut juga didistribusikan sebesar 10,7 MW untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat Luwu Timur melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN),” ujar Bayu.

Selain gunakan tenaga air, Vale juga sudah mulai inisiasi penggunaan bahan bakar nabati (BBN) yakni biodiesel berupa Fatty Acid Methyl Ester (FAME) yang dicampur dengan solar sehingga menjadi biosolar dalam operasional tambang.

Sejak 2016 biodiesel sudah mulai dicampur dengan solar dengan takaran 15%. Biodiesel digunakan untuk kendaraan ringan operasional Vale. Kemudian peningkatan volume campuran juga dilakukan sejak perluasan B20 diamanatkan oleh pemerintah. Total volume pemakaian biodiesel sepanjang tahun 2018 mencapai 79,1 juta liter. Jumlah ini dipastikan akan meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun depan saja pemerintah akan mewajibkan penggunaan B30.

Penggunaan biodiesel di area tambang Vale tentu sejalan dengan ambisi pemerintah untuk terus mendorong penggunaan EBT.

Jonan menegaskan penggunaan biodiesel adalah bagian dari transisi energi Indonesia. Menurutnya energi di setiap negara, menurut Jonan, memiliki keunikan tersendiri karena terkait dengan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing negara. Di Indonesia misalnya, yang merupakan negara produsen minyak kelapa sawit terbesar, telah menerapkan B20 untuk seluruh kebutuhan bahan bakar diesel, dan 2020 nanti akan ditingkatkan menjadi B30.

“Dengan menggunakan biodiesel itu lebih bersih, lebih hijau, dan berkelanjutan untuk mengurangi emisi karbon di sektor transportasi,” kata Jonan.

Penggunaan energi alternatif selain fosil dalam kegiatannya membuat Vale Indonesia menjadi salah satu perusahaan yang diakui sebagai salah satu perusahaan papan atas untuk urusan upaya efisiensi energi.

Vale Indonesia telah melakukan benchmarking skala internasional untuk kinerja 2017. Benchmarking dilakukan kepada 11 smelters pemasok nikel besar di dunia. Posisi intensitas pemakaian energi dibandingkan dengan industri sejenis, Vale Indonesia menduduki peringkat ke-6 dengan intensitas energi terbaik dengan efisiensi energi sebesar 317 Gj/Ton Ni.

Vale memastikan berbagai upaya efisiensi ini tidak akan berdampak pada kinerja produksi nikel. Pada 2018, Vale Indonesia memproduksi 74.806 ton nikel matte. Perusahaan menargetkan produksi antara 71.000 – 73.000 ton nikel matte.

Dengan tingkat produksi yang masih tinggi seperti itu, maka upaya efisiensi lainnya harus terus dilalukan. Manajemen kini sedang kembangkan fasilitas Mobile Rush Assay Lab (MRAL), laboratorium yang dapat berpindah tempat (mobile) yang memiliki fungsi layaknya laboratorium analisa sampel yakni mengukur dan memberikan informasi kadar nikel dan besi dari sampel bijih yang diambil oleh sampler atau grade control.

MRAL adalah kontainer yang dimodifikasi dan dilengkapi dengan berbagai peralatan sehingga mampu lakukan pengujian terhadap sampel ore (bijih nikel) di suatu area tambang. Beberapa fasilitas yang tersedia di dalam MRAL seperti dua unit crusher, oven, boil crusher, cerent dan satu unit alat analisis bernama Epsilon 3 (Phillips) untuk membaca dan memberikan informasi kadar besi dan nikel dari sampel.

Fasilitas ini juga sudah dilengkapi dengan sarana komunikasi yang terintegrasi ke sistem server Vale Indonesia sehingga data hasil pembacaan sudah bisa langsung tersimpan pada server user Vale dan juga memudahkan tim Prostech dalam melakukan kalibrasi alat pembacaan, misalnya dari Plant Site Sorowako.

M Azrul Amir, Supervisor Contract of Work (CoW) Project Geology Vale Indonesia, menjelaskan MRAL merupakan fasilitas penunjang penambangan yang berfungsi agar petugas grade control mendapat informasi yang cepat dan akurat tentang kadar nikel di suatu area eksplorasi apakah memenuhi kebutuhan dan layak layak ditambang atau tidak. “Selama ini sampel ore dari Tim Grade Control dikirim ke lab MRAL di Kantor Tambang Petea. Padahal lokasi tambang aktif bergerak semakin jauh dari fasilitas tersebut,” kata Azrul.

Seorang grade control biasanya baru bisa mendapat informasi tentang kadar nikel dan layak ditambang rata-rata setelah 2 jam atau lebih setelah pegambilan contoh dilakukan, belum lagi jika ada kendala pada LV dispatcher sample yang bisa menambah delay hasil pembacaan sampel.

Dengan MRAL yang posisinya akan selalu berdekatan dengan front penambangan, ditargetkan dalam waktu maksimal antara 30-45 menit, petugas grade control telah mendapat informasi kadar nikel dari sampel bijih di area eksplorasi. “Dengan begitu arah penambangan bisa dilakukan lebih cepat dan efisien,” kata Azrul. (RIO INDRAWAN)