JAKARTA – Fungsi dan tugas Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) dipertanyakan. Pasalnya beberapa operasi yang seharusnya diawasi justru malah terjadi penyelewengan. Tidak hanya itu,  kebijakan adanya pungutan dari sisi penyaluran gas oleh BPH Migas juga dianggap membuat alur distribusi gas menjadi tidak efisien.

Harry Poernomo, Anggota Komisi VII DPR meminta ada evaluasi menyeluruh terkait keberadaan BPH Migas karena tidak ubahnya seperti Dirjen Migas yang langsung dibawah Menteri ESDM. BPH Migas juga selama ini melaporkan pekerjaannya kepada Menteri ESDM.

“Dari perjalanan UU Migas 2001 berlaku peranan BPH Migas ini tidak memberikan benefit yang cukup untuk kepentingan ketahanan energi nasional,” kata Harry di Gedung DPR/MPR, Rabu (12/2).

Harry meminta ada tinjauan terhadap keberadaan BPH Migas. Jika diperlukan maka harus diperkuat, namun jjika tidak bisa dilebur dengan Dirjen Migas dibawah Direkorat Hilir.

Pengawasan yang dilakukan BPH Migas selama ini terhadap penyaluran BBM tertentu atau subsidi juga tidak efektif. Ini terlihat dari jebolnya kuota BBM solar subsidi pada tahun lalu yang mencapai 16,2 juta kiloliter (KL). Padahal kuotanya hanya 14,5 juta KL atau kelebihan sekitar 111,94%. Selain itu, BBM penugasa jenis premium juga mengalami kelebihan kuota sekitar 104,53% dari target. Kuota yang ditetapkan pemerintah untuk premium tahun lalu hanya 11 juta KL tapi realisasinya mencapai 11,5 juta KL.

Menurut Harry, dengan adanya peleburan BPH Migas maka pemerintah bisa meningkatkan efisiensi.

“Kalau soal pengawasan toh juga BPH Migas juga tidak mengawasi. Tadi MoU dengan polisi. Apa bedanya dengan lembaga lain. Pertamina juga ada MoU dengan polisi. Demi kepentingan efisiensi nasional kami perlu lebih arif melihat ini semua,” ungkap Harry.

Falah Amru, Anggota Komisi VII DPR lainnya juga menyatakan keberadaan BPH Migas justru malah membuat rantai distribusi gas jadi tidak efisien karena adanya iuran BPH Migas.

“Iuran hanya menambah beban masy buat apa. Narik iuran gas pipa jangan jangan malah bikin mahal,” ujarnya.

Menurut Falah, berdasarkan UU Migas, BPH Migas seharusnya tidak berada dibawah koordinasi Kementerian ESDM melainkan berdiri secara independen. Tapi dalam menjaga kemandirian justru menerapkan adanya iuran sendiri.

“Dalam menjaga kemandiriannya pun banyak juga melakukan operasional melalui iuran badan udaha. Tapi setelah kita lihat peran BPH Migas sudah jauh sekali. Dia mencoba mengatur soal tarif transmisi,” kata Falah.

Dia mengatakan BPH Migas harusnya sebagai indenpent regulatif body dan menjalan kewajiban dengan baik, seharusnya bukan menjadi corong pemerintah tapi penyeimbang.

“Kalau memang sebagai corong pemerintah iuran di cabut saja kalaupun harus ada iuran sebaiknya diberikan kepada saja kepada badan usaha sebagai insentif. Itu lebih bagus dan bijaksana,” tegas Falah.

Dalam penyaluran gas memang ada beberapa iuran sebagai komponen pembentuk harga gas sampai ke konsumen akhir yang dikenakan kepada badan usaha. Terdiri dari iuran usaha besarannya US$ 0,02 – US$0,06 per mmbtu, kekmudian biaya niaga besarannya US$ 0,24 – US$0,58 per mmbtu, biaya distribusi dengan besaran US$0,2 – US$2 per mmbtu dan biaya transmisi US$0,02 – US$1,55 per mmbtu.(RI)