Malam itu tidak seperti malam-malam biasanya yang penuh dengan kebisingan kendaraan bermotor serta silau lampu penerangan. Sepanjang jalan hanya tanah merah berbatu yang bisa ditemui serta cahaya remang-remang beberapa lampu penerangan. Bukan di segala penjuru, lampu hanya menyembul keluar dari beberapa bilik-bilik rumah semi permanen yang berjejer renggang di Desa Tampur Paloh,  Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur.

Tidak banyak memang yang bisa dilakukan siapapun juga jika tidak ada listrik, khususnya untuk kebutuhan penerangan. Kampung di ujung timur Aceh ini seakan mati suri jika matahari sudah bersembunyi di ufuk barat.

Kehidupan di Tampur Paloh mulai berdenyut saat matahari menyeruak memaksa keluar dari cakrawala. Kesibukan warga akan mulai terlihat, baik itu untuk bekerja atau suara candaan anak-anak yang mengiringi saat mereka berjalan  dengan semangat ke sekolah.

Ali Muda Tinedung, pemuda asli Langsa, Aceh Timur yang memilih untuk mengabdikan hidupnya di dunia pendidikan Tampur Paloh pagi-pagi sekali selalu setia menunggu anak-anak datang di sebuah bangunan semi permanen beratapkan asbes, jendela hanya dihalangi kawat dengan dinding kayu. Agak sulit memang jika diminta menggambarkan dengan jelas kondisi sekolah dasar di Tampur Paloh ini. salah satu cara untuk bisa membayangkan kondisi sekolah di sini mungkin jika kita mengingat sekolah Gantong Muhamadiyah yang ada di Film Laskar Pelangi.

Memang memprihatinkan kondisi sekolah disana, itu juga yang jadi gambaran bagaimana kualitas pendidikan masih terbilang sangat rendah. Bagaimana tidak? 71 tahun Indonesia merdeka tapi hampir seluruh penduduk disana masih “gagap” atau bahkan hanya tertegun jika disodorkan sebuah bacaan.

“Di tampur Paloh suasananya hening seolah belum merdeka, maksudnya merdeka dari kebodohan dan ketertinggalan termasuk dalam fasilitas umum dan perhatian pemerintah,” papar Ali.

Nada semangat menggebu-gebu memang terdengar dari suara Ali. Dari penuturannya aliran listrik maupun fasilitas air bersih belum juga “sudi” menyentuh desa Tampur Paloh. Selama ini untuk memenuhi listrik warga harus mengeluarkan biaya lebih agar mesin diesel bisa mengaliri listrik, itu pun tidak semua warga mampu karena biayanya yang sudah pasti tinggi.

Pohon Listrik

Kondisi berangsur berubah 180 derajat dalam beberapa bulan terakhir. Kehidupan masyarakat Tampur Paloh mulai menggeliat dengan masuknya tenaga listrik disana. Bukan dari program pemerintah, namun listrik dihasilkan melalui teknologi pohon listrik yang ditemukan Naufal Raziq siswa MTS Negeri Langsalama, Aceh Timur.

Berawal dari tugas mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di sekolahnya, keingintahuan Naufal ternyata berbuah manis saat ia melakukan percobaan dengan menggunakan pohon kedondong hutan atau biasa disebut kedondong pagar yang banyak tumbuh di sekitar sekolah dan lingkungannya.

Dalam perjalanannya Naufal memang tidak langsung sukses. Ia terlebih dulu memilih buah sebagai sumber energi listrik sebelum beralih ke batang pohon. Hingga setelah dilakukan sebanyak 60 kali percobaan pilihan pun akhirnya jatuh ke pohon kedondong.

“Pertama kali saya baca dari buku IPA waktu kelas 6 SD. Teorinya zat asam bisa menjadi sumber energi listrik, lalu saya coba pada kentang, lalu selanjutnya pada pohon Kedondong menggunakan tester digital,” kata Naufal. Kedondong pagar dipilih karena sifat pohon yang mengadung banyak getah asam.

Dengan menggunakan berbagai peralatan sederhana serta dibantu ayahnya Supriaman yang kebetulan tamatan SMK jurusan teknik, Naufal mampu membuat rangkaian pembangkit sederhana yang menghasilkan listrik dari kandungan asal getah pohon kedondong.

Temuan ini pun langsung di apresiasi oleh guru tempat Naufal bersekolah dan mampu dengan cepat diketahui oleh berbagai pihak. Pohon listrik karya Naufal diikutsertakan dalam Teknologi Tepat Guna 2015 tingkat Provinsi Aceh, sebuah ajang yang dibanjiri oleh temuan-temuan teknologi kaya manfaat yang diciptakan oleh anak bangsa.

Dalam gelaran itu pohon listrik Naufal sukses menjadi runner up. Prestasi itu pun terendus PT Pertamina EP Rantau Field, bagian dari PT Pertamina (Persero) di eksplorasi dan produksi yang memang dikenal aktif dalam pengembangan program kemandirian energi sebagai bagian dari program CSR perusahaan.

Tim Pertamina EP menggandeng Yayasan Anak Merdeka (YAM) yang terlebih dulu melakukan berbagai kegiatan sosial dari Tampur Paloh pun langsung kepincut dengan temuan pohon listrik ini. Kemunculan pohon listrik buatan Naufal dianggap sebagai solusi untuk bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Tampur Paloh melalui energi listrik.

Dedi Zikrian, Assistant Manager CSR Pertamina EP Rantau Field, menyatakan sebelum diimplementasikan ke Tampur Paloh pohon listrik temuan Naufal terlebih dahulu diteliti dan dikembangkan bersama-sama engineer Pertamina EP serta bantuan tim dari Universitas Diponegoro, untuk bisa mendapatkan kestabilan daya atau tengangan yang dihasilkan dari pohon.

Untuk sektor pendidikan, bantuan Pertamina EP tidak hanya diberikan dalam bentuk aliran listrik tapi bersama dengan Yayasan Anak Merdeka, yakni melalui program Siekula Aneuk Nanggroe. Untuk diketahui, selama bertahun-tahun Sekolah Dasar merupakan tingkatan paling tinggi di Tampor Paloh, sebelum akhirnya Yayasan Anak Merdeka datang dan membentuk sekolah menengah pertama swasta secara sukarela. Melalui Sikuela Anak Naggroe tadi SMP yang dibuat oleh para relawan itu kini baru saja direnovasi dan serta ditambah tiga bangunan fisik serta satu bangunan berlantai dua untuk perpustakaan.

Tidak hanya tingkat SMP dengan hadirnya bangunan baru di sana kini anak-anak Tampur Palo lulusan SMP bisa langsung melanjutkan pendidikannya di desa mereka ke tingkat SMA atau Aliyah. Kini sebanyak 55 siswa dan siswi SMP serta 20 siswa dan siswi Aliyah bersama dengan tujuh orang guru bisa dengan tenang melakukan kegiatan belajar menagajar di bangunan baru sekolah mereka.

Dengan adanya program ini masyarakat tidak perlu lagi harus menempuh jarak cukup jauh yakni 3 jam di jalur darat dan 2 jam dengan menggunakan perahu menuju ke pusat kota untuk bisa melanjutkan sekolah ke tingkat atas. “Itu yang jadi sasaran kita sebenarnya dengan membawa listrik masuk ke Tampur Paloh, sektor lain jadi ikut berkembang,” kata Dedi kepada Dunia Energi.

Penebangan pohon merupakan salah satu pekerjaan utama warga di Tampur Paloh. Pohon di tebang untuk diambil kayunya dan dijadikan kayu bakar ataupun bahan bangunan.

“Kita masuk melalui pendidikan sadarkan masyarakat dari pendidikan muda bahwa menebang pohon itu jelas merusak lingkungan, contohnya adalah banjir bandang akibat penebangan pohon secara masif pada 2006,” papar Dedi

Selain pendidikan, sektor lain yang juga turut dibina dan dikembangkan salah satunya adalah ekonomi masyarakat. Ada cara khusus yang dilakukan bersama Yayasan Anak Merdeka yakni membentuk kelompok kerajinan anyaman purun. Pembuatan kerajinan tangan berbahan pohon purun (sejenis pohon pandan) sebenarnya sudah digeluti juga oleh sebagian masyarkat. Hanya saja sebelum listrik masuk disana kegiatan produksi terbatas hanya bisa dilakukan siang hari.

Teknologi pohon listrik yang diimplemetasikan bagi kegiatan kelompok terbukti ampuh mendongkrak kuaititas produksi hasil anyaman warga. Rata-rata produksi di siang hari bisa hasilkan enam tikar jika ada tambahan waktu di malam hari maka produksi bisa mencapai delapan  tikar, jika satu tikar harga Rp 50.000 maka bisa didapatkan Rp 300.000 pada siang hari, jumlah tersebut otomatis bertambah menjadi Rp 400.000 jika di malam hari juga dilakukan kegiatan produksi. “Jadi tujuannya kan masyarakat bisa beralih juga mata pencahariannya dari pada menebang pohon di hutan” kata Dedi semangat.

Pertamina EP mempunyai cita-cita besar di Tampur Paloh ini, yakni mewujudkan desa ecotourism. Bukan mimpi yang muluk-muluk, karena sebelum PT Pertamina EP dan Yayasan Anak Merdeka masuk di Tampur Paloh, dusun terpencil ini sudah dikaruniai kondisi alam yang sangat mumpuni untuk dijadikan desa wisata.

Pemandangan alam yang indah dengan dominasi hutan perbukitan dijamin mampu membawa siapa saja yang berkunjung merasakan suasana alam tidak biasa. Belum lagi dengan aliran sungai diantara tebing serta gua-gua yang menyelingi bisa menjadi rute petualangan cantik dan mengingatkan kita dengan Grand Canyon salah satu destinasi wisata unggulan di provinsi Jawa Barat yang sudah dikenal hingga ke mancanegara. “Jadi bagaimana masyarakat sana dari pada merambah kayu kita jadikan agen wisata” ujar Dedi sumringah.

Apa yang terjadi di Tampur Paloh memang jadi salah satu ciri khas program Pertamina dimana perusahaan masuk tidak serta merta memberikan bantuan mentah dan dikelola dalam waktu singkat. Salah satu subjek inti dalam tanggung jawab sosial perusahaan adalah pelibatan dan pengembangan masyarakat, dimana diharapkan perusahaan dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat, khususnya kelompok rentan, yang ada di sekitar wilayah operasinya.

Selain itu, perusahaan juga diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Karena itu dibutuhkan desain program dengan pengembangan masyarakat yang dapat membantu memecahkan permasalahan pembangunan yang dilakukan pemerintah, sekaligus sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Jalal, pengamat CSR dari dari Social Investment Indonesia menyatakan Secara ideal perusahaan yang bergerak dibidang energi seperti Pertamina memang seharusnya fokus di isu-isu energi dalam program investasi sosialnya sehingga ada kecocokam antara yang biasa dilakukan dengan program sosial yang ditujukan ke masyarakat.

Implementasi pohon listrik di desa Tampur Paloh serta berbagai program pengembangan pendidikan dan ekonomi di sana juga bisa dibilang menjadi motor penggerak baru kehidupan masyarakat. “Saya kira Pertamina sangat penting berkonsentrasi untuk pemecahan masalah – masalah energi seperti ini,” kata Jalal saat dihubungi Dunia Energi.

Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication Pertamina menegaskan, sebagai perusahaan negara sudah jadi kewajiban Pertamina untuk memberikan manfaat kepada masyarakat terutama di sekitar daerah operasi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Selain itu, berbagai program Pertamina kata Wianda harus bisa secara nyata berkontribusi dalam sendi kehidupan utama yakni peningkatan kesejahteraan melalui peningkatan ekonomi. “Program yang cocok bisa meningkatkan pendapatan masyarakat bisa tingkatkan taraf kesejahteraan masyarakat bisa tingkatkan kreatifitasnya” kata Wianda kepada Dunia Energi.

Kontribusi yang dilakukan perusahaan dapat dilakukan dengan pendekatan pemberdayaan dan pelibatan masyarakat untuk menciptakan kemandirian masyarakat dalam jangka panjang.

“CSR Pertamina harus long term dan sifatnya swadaya kita sebagai pemilik program hanya membantu 1-2 tahun dan selebihnya mereka berjalan sendiri” ujar Wianda.

Kemandirian masyarakat menjadi suatu keharusan dalam setiap program CSR perusahaan, karena seluruh program akan percuma jika masyarakatnya terus bergantung pada bantuan perusahaan.(Rio Indrawan)