JAKARTA – Pemerintah kembali memproyeksikan adanya defisit gas dalam waktu dekat. Dalam neraca gas terbaru 2020-2030, kekurangan pasokan gas tersebut diperkirakan mulai terjadi tahun ini dan pada tiga tahun lagi atau 2023 bisa mencapai puncak karena kondisi defisit.

Soerjaningsih, Direktur pembinaan program migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan tiga tahun ke depan secara berangsur-angsur pasokan gas akan mengalami penurunan. Puncaknya pada 2023 dengan pasokan eksisting berdasarkan kontrak yang sekarang belum dapat memenuhi kebutuhan.

“Secara nasional gambaran seperti ini kami akan alami penurunan drastis dari eksisting suplai. Kalau tidak ditunjang dengan proyek-proyek sekarang, untuk memenuhi dari eksisting kontrak aja mulai 2020-2023 kita tidak mampu,” kata Soerjaningsih dalam diskusi virtual, Senin (18/5).

Lebih lanjut dia menuturkan apabila hanya dengan eksisting dan proyek suplai onstream, maka kebutuhan gas berdasarkan kontrak dan commited kembali akan mulai defisit pada 2024.

Dalam neraca gas juga diprediksi total suplai akan terpenuhi seluruh kebutuhan gas termasuk potensi permintaan gas jika potensi proyek dan potensi suplai dapat rampung dan dilaksanakan tepat waktu sesuai jadwal.

Menurut Soerjaningsih, kebutuhan atau permintaan gas akan semakin meningkat lantaran beberapa kebijakan pemerintah yang makin gencar mendorong penggunaan pembangkit listrik tenaga gas untuk bisa menggantikan batu bara. Selain itu dengan sudah ditetapkannya harga gas khusus bagi industri juga bisa mendorongnya peningkatan konsumsi gas.

Pemerintah kata Soerjaningsih sudah menyiapkan rencana pembangunan 52 mini regasifikasi untuk mendorong penggunaan pembangkit listrik tenaga gas.

“Ada kebutuhan-kebutuhan meningkat di sektor kelistrikan kita menginginkan sumber energi yang lebih bersih, ganti coal. Ada industri yang tumbuh dengan penurunan harga ini,” kata dia.

Salah satu industri yang akan menyerap gas dalam jumlah besar nantinya adalah industri petrokimia dan metanol direncanakan ada dalam committed demand (permintaan) dan potensial demand.

“Kemudian dari kilang-kilang sekarang sudah direncanakan oleh Pertamina maupun yang sedang berjalan. untuk kilang grass root maupun RDMP ada kenaikan (konsumsi gas) di situ,” kata Soerjaningsih.

Selain itu, peningkatan konsumsi gas juga dipicu oleh mulai mulai tersambungnya infrastruktur dan jaringan gas sepanjang pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Kalimantan, serta Papua dengan akan ditetapkannya Wilayah Jaringan Distribusi (WJD).

Dengan WJD tersebut maka akan ada road map pembangunan yang jelas termasuk didalamnya pembangunan jaringan gas rumah tangga yang masif. “Untuk akses ke masyarakat luas di 2021-2024 4 juta sambungan rumah tangga untuk jargas dan 2030 ada 10 juta sambungan jargas. di 2038 kita rencakan sebanyak 30 juta sambungan gas rumah tangga,” kata Soerjaningsih.(RI)