JAKARTA – Relaksasi ketentuan batas minimal serapan gas (take or pay/TOP), salah satu insentif bagi pelaku usaha yang disiapkan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) urung dilakukan. SKK Migas beralasan bahwa kebijakan harga gas US$6 per (MMBTU) sudah mampu mendongkrak serapan gas domestik.

Arief S Handoko, Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas, mengklaim kebijakan harga gas khusus industri dan kelistrikan sesuai Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Kepmen ESDM) 89K/2020 dan 91K/2020 telah berjalan dan terlihat manfaatnya.

“Soal ToP belum diputuskan lebih lanjut karena sudah diberi harga gas khusus untuk industri tertentu dan kelistrikan yang cukup bagus. Ini kan semacam insentif. Jadi kami tidak lagi melihat perlunya relaksasi ToP, tidak ada minimal charges yang diubah,” kata Arief di Jakarta, akhir pekan lalu.

Berdasarkan data SKK Migas, serapan gas pada Mei kemarin tercatat hanya 5.253 juta kaki kubik per hari (MMscfd) atau 10,45% dibanding pertama 5.866 MMscfd.

Menurut Arief, pada Mei ketika pandemi Covid-19 terjadi, serapan gas di dalam negeri sempat sangat terpukul. Namun, realisasi serapan gas ini sudah membaik di akhir Juni, menyusul diterapkannya Kepmen ESDM 89K/2020 dan 91K/2020. “Insentif ini [harga gas khusus] yang mungkin bisa menggantikan kebijakan relaksasi TOP,” kata Arief.

Hingga akhir Juni serapan gas domestik sudah mencapai 5.484 BBTUD. Meskipun, realisasi serapan gas di Juni lalu tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019.

Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas, mengatakan pada Juni 2019 lalu, serapan gas domestik mencapai 6.138 BBTUD. Penurunan serapan terjadi untuk hampir seluruh sektor, utamanya sektor ketenagalistrikan.

“Yang paling besar turun (serapan gasnya) sektor kelistrikan, diikuti industri, LNG domestik, pupuk. LNG domestik juga mostly untuk kelistrikan,” kata Dwi.

Hingga Juni lalu, serapan gas sektor kelistrikan hanya 711 BBTUD atau turun 15,26% dari periode yang sama tahun lalu 839 BBTUD. Serapan LNG dalam negeri tercatat hanya 441 BBTUD atau anjlok 13,02% dibanding 507 BBTUD. Berikutnya serapan gas oleh industri sebesar 1.533 BBTUD atau turun tipis 4,07% dari 1.598 di Juni 2019. Serapan gas oleh pabrik pupuk juga turun tipis 4,71% menjadi 708 BBTUD dari tahun lalu 743 BBTUD.

Jika dibanding dengan kuartal pertama 2020, serapan gas di April-Juni tercatat anjlok 253 BBTUD. Serapan gas yang turun signifikan yakni oleh PT PGN Tbk sebesar 150 BBTUD karena diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan libur Hari Raya Idul Fitri. Berikutanya, serapan gas kelistrikan turun 73 BBTUD lantaran rendahnya permintaan setrum dan adanya pemeliharaan rutin. Terakhir, serapan gas oleh PT Pupuk Indonesia (Persero) berkurang 30 BBTUD karena pemeliharaan rutin dan kelebihan stok.

Jatah LNG

Arief mengatakan, khusus LNG, beberapa pembeli telah menyatakan tidak akan mengambil jatah LNG sesuai kontrak. Salah satu pembeli tersebut adalah PT PLN (Persero) yang tidak akan menyerap 14 kargo dari 34 jatah kargonya sesuai kontrak.

Jika batal diserap, PLN akan dikenai klausul TOP, yakni tetep membayar sesuai batas minimal dalam kontrak. Namun, lanjut dia, PLN dapat berupaya meningkatkan serapan LNG-nya di semester kedua untuk meminimalkan beban ToP. Hal ini juga berlaku untuk serapan gas melalui pipa.

“Kalau yang benar-benar men-drop (batal mengambil) akan dikenakan ToP. Hanya saja ToP ditunda sampai akhir tahun. Apakah sisa tahun bisa serap banyak, itu bisa diperhitungkan ToP lebih rendah,” kata Arief.

Sementara pembeli luar negeri,  terdapat sembilan kargo yang batal diserap oleh beberapa pembeli. Namun, jika dihitung per perusahaan, LNG yang batal diambil hanya 1-2 kargo untuk setiap perusahaan. Sehingga, pembeli tidak akan terkena klausul ToP. “Yang pembeli luar negeri itu bukan drop kargo, artinya mereka dalam kontrak memang bisa men-downward ( menunda) 1-2 kargo,” kata Arief.

Selama enam bulan pertama tahun ini serapan LNG tercatat hanya sebanyak 104,8 dibanding 119,8. Dari realisasi serapan 104,8 kargo, Sampai akhir tahun nanti, proyeksi lifting dari Bontang 82 kargo dan Tangguh 120,5 kargo.(RI)