JAKARTA – Pembahasan tripartit antara DPR-RI, DPD-RI dan Pemerintah terkait Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) telah dimulai pada tanggal 29 November 2022. Secara prinsip, mulainya pembahasan ini merupakan satu hal yang patut disyukuri, mengingat penyusunan RUU EBET ini telah lama dinantikan. RUU ini telah berganti judul beberapa kali. Pada tahun 2018 DPD-RI menginisiasi penyusunan Naskah Akademis dan RUU Energi Terbarukan (ET) dan menyampaikan hasilnya kepada DPR-RI untuk dijadikan sebagai usulan. DPD-RI menyampaikan bahwa Undang-Undang Energi Terbarukan (UU ET) diharapkan akan dapat memberikan dasar hukum yang kuat untuk mendukung pengembangan energi terbarukan sebagai bagian dari proses transisi energi menuju energi yang berkelanjutan di Indonesia. DPR-RI kemudian menggunakan hak inisiatif untuk mengajukan RUU pada tahun 2019 dengan menambahkan bagian Energi Baru, sehingga judul RUU menjadi RUU Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT).

Perubahan yang paling signifikan dalam RUU EBT adalah masuknya frasa nuklir dengan jumlah pasal yang bahkan mendominasi dibandingkan dengan substansi energi terbarukan yang
harusnya merupakan fokus utama dari lahirnya UU ini. Pro dan kontra terhadap usulan RUU EBT ini terus bergulir, terutama antara pendukung energi terbarukan dengan pihak yang kompromis, dan bahkan cenderung dominan mendukung pengembangan nuklir di Indonesia.

Menjelang kesepakatan dalam paripurna DPR RI RUU EBT kembali diubah menjadi RUU EBET dengan dalih untuk dapat mengakomodir dukungan terhadap DMO (Domestic Market Obligation) batu bara untuk melindungi daya beli masyarakat atas harga listrik sebagai dampak dari kenaikan harga batubara. Masuknya DMO dalam RUU EBET sama sekali tidak memiliki hubungan yang spesifik dengan pengembangan energi terbarukan. Disinilah mulai muncul pertanyaan, apakah RUU yang akan dibahas ini masih tetap RUU EBET atau cukup hanya RUU
ET.

Dalam kaitan dengan materi nuklir, sejauh ini sudah terlebih dahulu sudah ada Undang – Undang (UU) No.10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran dan sebagian subtansi ketenaganukliran juga sudah dimasukkan dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Bahkan beberapa pihak, termasuk BRIN, sudah mengagas amandemen Undang-Undang No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran agar lebih komprehensif membahas kepentingan nuklir untuk energi, pangan, kesehatan dan lain-lain.

“Disinilah letak masalah, apakah masih diperlukan masalah nuklir dimasukkan dalam RUU EBET? Apabila tetap dipaksakan, apakah substansi nuklir yang dimasukkan dalam RUU EBET sudah memadai untuk mengantisipasi berbagai potensi resiko yang mungkin timbul dalam pengoperasian PLTN?” kata Surya Darma, Ketua Indonesia Center for Renewable Energy Studies (ICRES), Senin(1/5/2023).

Sementara itu, substansi batu bara sebenarnya sudah masuk dalam UU No.3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Lebih jauh lagi, terkait DMO cukup diatur dalam Keputusan Menteri ESDM (Keputusan Menteri ESDM No.
139.K/HK.02/MEM.B/2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batubara Dalam Negeri).

“Pertanyaan inilah yang menggelitik bagi kami, ICRES (Indonesia Center for Renewable Energy Studies). Sebagai pusat studi tentang energi terbarukan di Indonesia, ICRES melihat bahwa
masih perlu dilakukan kajian yang mendalam maksud dan tujuan luhur dari adanya regulasi yang mengatur penyediaan dan pemanfaatan energi terbarukan dengan tujuan untuk memberikan kepsatian hukum, kepastian usaha dan tentu saja memberikan daya tarik dan daya dorong investasi energi terbarukan yang sangat dibutuhkan Indonesia dan memerlukan peran para investor dalam jumlah yang sangat banyak untuk kepentingan jangka panjang,” ujar Surya Darma.

Surya Darma menjelaskan bahwa dalam perjalanan penyusunan RUU EBET ini telah terjadi berbagai perkembangan penting dalam kebijakan nasional dan global yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pembahasan RUU EBET atau bahkan apabila nantinya ditetapkan menjadi RUU ET, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Perubahan Perilaku Konsumen investor dan lembaga Pembiayaan.
berbagai upaya global dalam menurunkan emisi GRK diikuti oleh perubahan perilaku konsumen dan investor yang mengedepankan produk dengan emisi rendah karbon dan berinvestasi dalam kegiatan yang menghasilkan emisi GRK rendah. Beberapa contoh dari upaya global
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Tahun 2021 Pemerintah Cina mengumumkan bahwa Cina tidak lagi
memperbolehkan perusahaan Cina untuk berinvestasi dalam Pembangkit Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batubara (PLTU) diluar Cina;
b. Uni Eropa akan memberlakukan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang akan mulai tahun 2023 untuk ekspor ke Uni Eropa. Dengan pemberlakuan CBAM ini maka produk dengan emisi tinggi akan dikenakan pungutan tambahan apabila mengekspor ke Uni Eropa;
c. Uni Eropa menetapkan peraturan yang melarang masuknya produk-produk yang terindikasi terkait dengan deforestasi;
d. Berbagai Lembaga pembiayaan global sudah memutuskan tidak lagi menyediakan pembiayaan untuk PLTU;
e. Berbagai investor tidak berinvestasi pada sektor yang masih menghasilkan emisi GRK tinggi;
Dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka apabila transisi energi tidak dilaksanakan sesegera mungkin, maka perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor dikhawatirkan akan meninggalkan Indonesia. Hal ini tentu saja akan berdampak pada hilangnya lapangan pekerjaan atau kesempatan bekerja. Disamping itu, dikhawatirkan tidak ada lagi investasi baru untuk industri yang masuk ke Indonesia.

2. Peta Jalan Target Net Zero Emission (NZE) Indonesia.
Dalam upaya untuk menjaga agar kenaikan temperatur global tidak lebih dari 2°C, dan apabila memungkinkan dapat dipertahankan pada 1,5 °C, maka Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyampaikan rencana pencapaian target NZE Indonesia ke UNFCCC. Selanjutnya,
Kementerian ESDM sudah menyusun peta jalan untuk mencapai target NZE pada tahun 2060 atau lebih awal untuk sektor energi, yang mana dalam peta jalan tersebut energi terbarukan akan menjadi sumber utama energi di Indonesia.

3. Kesepakatan Global.
Indonesia sudah menandatangani beberapa kesepakatan yang mengarah kepada pencapaian target ini, diantaranya:
a. Ratifikasi Persetujuan Paris melalui UU No.16 Tahun 2016
b. Global coal to clean power statement pada saat pelaksanaan Conference Of Parties (COP) 26 di Glasgow, Skotlandia, Kerajaan Inggris tahun 2021;
c. Global Methane Pledge pada saat pelaksanaan COP)l 26 di Glasgow, Skotlandia, Kerajaan Inggris tahun 2021;
d. Indonesia Bersama dengan International Partner Group (IPG) yang terdiri dari Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Denmark, Jerman, Italia, Perancis, Kanada, Norwegia, dan Uni Eropa telah meluncurkan Just Energy Transition Partnership (JETP) pada saat pelaksanaan G20 Summit di Bali, yang menyepakati diantaranya pembatasan emisi GRK sektor pembangkitan menjadi 290 juta tCO2 (sebelumnya
ditetapkan 357 juta tCO2), peningkatan kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi menjadi 34% pada tahun 2030, dan puncak emisi sub-sektor pembangkitan pada tahun 2030;
e. Pembentukan Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform yang berfungsi sebagai koordinasi utama dan penggerak untuk mendorong transisi yang adil dan terjangkau di Indonesia untuk sektor energi. Dalam hal ini, PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) ditunjuk sebagai ETM Country Platform Managed untuk mengembangkan kerangka kerja pembiayaan dan investasi untuk program ETM.
PT SMI berkolaborasi dengan berbagai mitra institusi yang terdiri dari:
• Mitra Hibah (Bloomberg Philanthropies & ClimateWorks Foundation’s Global
Energy Transition Initiative, UK MENTARI, dan Global Energy Alliance for
People and Planet);
• Mitra pembiayaan (ADB, World Bank, Islamic Development Bank, Climate
Investment Funds, HSBC, Standard Chartered, dan Japan Bank for
International Cooperation);
• Mitra pengetahuan & teknis (United States Agency for International
Development, Global Green Growth Institute, Climate Policy Initiative, United
Nations Development Programme, Rocky Mountain Institute, dan Climate
Bonds Initiative);
• Serta mitra investasi (Indonesia Investment Authority).

Lebih lanjut Surya Darma menerangkan bahwa berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas maka Indonesia perlu segera untuk mengantisipasi perkembangan upaya penurunan emisi GRK global yang berdampak secara langsung maupun tidak langsung pada pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya menyangkut atas kelangsungan dunia usaha, ketersediaan lapangan kerja, perlindungan lingkungan dan kesehatan, dan berbagai target-target pembangunan Indonesia lainnya.

“Dalam hal ini, penyediaan dan pemanfaatan energi terbarukan menjadi faktor kunci dalam upaya penurunan emisi GRK pada sektor energi, yang mana hal ini sejalan dengan peta jalan pencapaian target NZE yang sudah disusun oleh Pemerintah,” ujar Surya Darma.

Sehubungan dengan hal tersebut, kata Surya Darma, DPR-RI, DPD-RI dan Pemerintah perlu memperhatikan agar terdapat kepastian hukum dan kepastian berusaha di bidang energi terbarukan. “Oleh karena itu, hal yang sangat urgent diperlukan saat ini adalah dasar hukum yang kuat agar kepastian hukum dalam pemanfaatan energi terbarukan semaksimal mungkin dapat dilakukan, tidak hanya hingga 2030 tetapi juga melewati tahun tersebut, sehingga Indonesia mampu mencapai target NZE, sebagaimana yang sudah dimasukkan dalam peta jalan NZR sektor energi,” kata Surya Darma.(RA)

Dengan memperhatikan RUU EBET yang dibahas saat ini, ICRES menyampaikan hal-hal berikut ini:
1. DPR-RI, DPD-RI dan Pemerintah sebaiknya perlu melihat ulang untuk menyepakati bahwa judul RUU EBET diganti menjadi RUU Energi Terbarukan (RUU ET). Hal ini perlu dilakukan mengingat bahwa istilah Energi Baru tidak dikenal dalam dalam dunia internasional.
Sementara itu, apabila Energi Baru yang dimaksudkan dalam dalam RUU EBET hanya terkait dengan teknologi untuk mengolah sumber daya energi berbasis tidak terbarukan, maka hal ini juga tidak lagi tepat, karena teknologi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) misalnya bukan lagi teknologi baru, demikian juga halnya dengan teknologi untuk gasifikasi batubara. Sehubungan dengan hal tersebut, dengan berubahnya judul menjadi RUU ET, maka semua rumusan pasal-pasal menyangkut Energi Terbarukan harus dihapus dalam RUU ini. Sebagai pelengkapnya, perlu segera dibahas RUU Perubahan tentang UU No.10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran;

2. Sebagai bagian dari pengembangan energi terbarukan, maka DPR-RI, DPD-RI dan Pemerintah perlu menyepakati rumusan pasal-pasal dalam RUU ini agar secara jelas memprioritaskan Energi Terbarukan mulai dari perencanaan, pengadaan dan pengoperasian. Energi Tidak Terbarukan baru akan dapat dimanfaatkan apabila Sumber Energi Terbarukan tidak lagi tersedia;

3. Pembahasan tentang pemanfaatan nuklir untuk pembangkit listrik tidak ada urgensinya saat ini, mengingat bahwa dalam peta jalan yang disusun Pemerintah, pemanfaatan PLTN baru akan ada setelah tahun 2040. Sementara itu, BAPETEN saat ini sedang menyusun naskah akademis untuk revisi UU No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Apabila ada hal penting yang perlu mendapat perhatian terkait dengan pemanfaatan PLTN, maka hal ini dapat dilakukan melalui revisi UU No.10 Tahun 1997. Sementara itu, terkait dengan gasifikasi batubara, tidak perlu lagi diangkat dalam UU karena hal ini sudah dimungkinkan dilaksanakan melalui UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi, sementara tidak ada substansi
baru terkait dengan hal ini dalam RUU EBET. Bahkan dalam UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terdapat pengaturan khusus terkait dengan gasifikasi batubara, tentang Minerba, Pemerintah sudah memberikan insentif khusus berupa penghapusan royalty untuk hilirisasi batubara;

4. Terkait dengan transisi energi dalam RUU EBET yang mengatur tentang Domestic Market Obligation (DMO) dan penetapan harga beli batubara untuk pembangkitan listrik, hal ini dinilai tidak perlu diangkat dalam RUU ini karena sudah diatur melalui UU lain terkait dengan Pertambangan Mineral dan Batubara. Hal yang justru lebih penting saat ini adalah merevisi UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi agar dapat disesuaikan dengan perkembangan global terkait upaya dekarbonisasi di sektor energi. Sebagai bagian dari revisi ini maka sangat penting untuk merevisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) dalam rangka mendorong terjadinya transisi energi, dan merestrukturisasi Dewan Energi Nasional (DEN) agar dapat berfungsi lebih efektif dan efisien dalam mendorong terjadinya transisi energi;

5. Agar pengusahaan Energi Terbarukan dapat dilakukan dengan fair dan transparan, maka DPR-RI, DPD-RI dan Pemerintah diharapkan dapat menyepakati pembentukan satu badan khusus, misalnya dengan membentuk Badan Pengelola Energi Terbarukan (BPET), dalam RUU Energi Terbarukan. Melalui BPET maka pengelolaan dan pemanfaatan Energi Terbarukan dapat dilakukan seefisien mungkin demi tercapainya target-target pembangunan, seperti pencapaian target NZE, pencapaian target Energi Terbarukan
dalam bauran energi, penyediaan lapangan kerja baru, peningkatan investasi hijau di Indonesia, dan target-target lainnya;

6. Apabila tidak dicapai kesepakatan untuk fokus pada energi terbarukan, dan tetap ingin memasukkan PLTN dan transisi energi dalam RUU EBET ada baiknya DPR, DPD dan Pemerintah mempertimbangkan untuk menyusun omnibus law tentang energi, dengan mengintegrasikan pengaturan-pengaturan yang ada di UU No.30 Tahun 200ϳ tentang Energi, UU No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No.3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara , dan UU No.21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi. Dengan Omnibus Law ini maka akan diperoleh satu undang-undang yang dapat mengintegrasikan berbagai regulasi di sektor energi dan mengatur pengelolaan dengan lebih baik.