JAKARTA – Indonesia memiliki potensi besar menjadi pemain utama bisnis hidrogen dunia. Ini tidak lepas dari terdapatnya cadangan panas bumi yang melimpah di Tanah Air. Namun demikian, dukungan ekstra sangat diperlukan jika potensi besar hidrogen tersebut mau dimanfaatkan.

Julfi Hadi, Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), mengungkapkan ada beberapa dukungan yang bisa diberikan pemerintah untuk bisa menggenjot pemanfaatan hidrogen. Pertama adalah keringanan PPH badan serta pajak impor untuk fasilitas produksi green hydrogen. Kemudian subsidi harga green hidrogen serta kucuran dana misalnya dengan pemindahan alokasi subsidi dari energi fosil, pajak karbon dan lainnya. Lalu ketersediaan dukungan peraturan mulai dari regulasi ekspor, standar produksi dan skema penyaluran Listrik.

“Bisa bicarakan luar Jawa, Sumatera potential power wheeling off grid, produk green hydrogen bisa dimulai karena transportasi (listrik) tadi jadi major cost yang dipertimbangkan untuk men-develop hidrogen. Ide pakai cost saja perhitungan kami  pas-pasan apalagi kalau ada cost transportasi ini,” jelas Julfi, dalam sesi DETalk bertema Status and Trends of Hydrogen Economy: Indonesia Prespectives and Experience yang digelar Dunia Energi, Selasa (2/4).

PGE sendiri saat ini masih dalam tahap pilot project pengembangan green hydrogen. Namun, ungkap Julfi, tidak sampai di situ karena secara paralel perusahaan tengah menjajaki berbagai kerjasama untuk mencari pasar hidrogen. Misalnya, pilot project di Ulubelu, Sumatera Selatan, PGE menjalin kerja sama dengan Keppel dan Chevron untuk market Singapura. Di Lahendong, PGE berkolaborasi dengan Tepco Jepang.  “Ada juga potential partner juga dari Timur Tengah dan Eropa,” katanya.

Jufli menuturkan strategi PGE untuk mengembangkan green hydrogen ada dua yaitu pilot, prove technical feasibility serta tahap ke dua berupa scale up yaitu achieve commercial viability.

“Yang kami  kerjakan saat ini masih proof of concept, deploy & accelerate dan expand the market. Jadi, kami  sedang pilot project paralel dengan check the market supaya lebih cepat jalan,” ungkap Julfi.

Berdasarkan data yang disampaikan perusahaan, PGE menargetkan dapat memproduksi green hydrogen dengan kapasitas besar di masa datang seiring dengan rencana pengembangan bisnis perusahaan yakni bisa mencapai 302 ton hidrogen per hari atau setara dengan 110 ktpa. Ini dengan catatan PGE mampu mencapai target untuk memiliki kapasitas panas bumi sebesar lebih dari 1,5 gigawatt (GW) dalam waktu 5-10 tahun mendatang. Saat ini kapasitas PGE panas bumi PGE baru mencapai 672 Megawatt (MW).

Chrisnawan Anditya, Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menegaskan posisi pemerintah jelas dalam pengembangan hidrogen. Dia menyatakan pemerintah memang telah menetapkan peta jalan khusus agar hidrogen bisa berbicara banyak di masa datang.

“Mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil mencapai target dekarbonisasi dengan mengembangkan pasar hidrogen dalam negeri dan ekspor hidrogen dan turunannya ke pasar global untuk mencapai tujuan dekarbonisasi,” jelas Chrisnawan.

Saat ini, hidrogen telah digunakan di Indonesia di sektor industri, terutama sebagai bahan baku pupuk. Konsumsi hidrogen di Indonesia saat ini sekitar 1,75 juta ton per tahun (IEA, 2022), dengan penggunaan yang didominasi oleh urea (88%), amonia (4%), dan kilang minyak (2%). Sebagian besar penggunaan hidrogen di industri saat ini berasal dari gas alam.

Potensi pasar di dalam negeri juga bakal dikembangkan pemerintah. Sektor transportasi jadi salah satu fokusnya. Sektor bus rencananya dimulai pada tahun 2040, sebagian bus akan beralih ke hidrogen dengan permintaan awal sebesar 6 GWh atau setara 0,21 juta ton H2. Penggunaan ini akan berlanjut dan meningkat hingga mencapai proporsi 20% bus menggunakan hidrogen, dengan besar konsumsi mencapai 1,18 juta ton di 2060.

Sektor Kendaraan Angkutan Berat. Permintaan hidrogen pada sektor ini diperkirakan akan mencapai 161 GWh (4,88 juta ton H2) di tahun 2040 dan meningkat menjadi 930,6GWh (28,2 juta ton H2) pada 2060.

Sektor Perkeretaapian. PT KAI memiliki rencana pengembangan kereta api untuk mengganti lokomotif dengan kereta rel listrik yang dikombinasikan dengan bahan bakar hidrogen dan/atau baterai.

“Adapun di sektor ketenagalistrikan dilaksanakan untuk cofiring untuk penggunaan hidrogen dan amonia rendah karbon pada pembangkit berbahan fosil pada periode tahun 2030-2050 kemudian penyimpanan pembangkit off grid dan mengatasi curtailement pembangkit EBT,” jelas Chrisnawan (RI)