JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini tengah melakukan revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 guna meningkatkan daya tarik masyarakat dan sektor swasta untuk menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.

Kementerian ESDM menyebutkan pemerintah akan memberikan tiga insentif pada pengguna PLTS Atap, yaitu kenaikan tarif ekspor-impor listrik dari 1:0,65 menjadi 1:0,75-0,9, perpanjangan periode reset kelebihan ekspor listrik dari 3 bulan menjadi 5 bulan, dan penurunan biaya kapasitas untuk pelanggan industri dari 40 jam menjadi 5 jam per bulan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan bahwa rancangan revisi Permen tersebut justru memberikan disinsentif pada masyarakat dan sektor swasta untuk menggunakan PLTS Atap.
Draft revisi Permen ESDM No. 49/2018 dinilai terlalu bias melindungi kepentingan PT PLN (Persero) dan justru mengorbankan potensi partisipasi rakyat untuk membantu pemerintah dalam investasi swadaya mencapai target 23% energi terbarukan dan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).

“Alih-alih memberikan insentif, pemerintah justru menciptakan disinsentif bagi konsumen untuk memasang PLTS Atap,” kata Fabby, Kamis (29/4).

Menurut Fabby, Permen ESDM Nomor 49/2018 yang menjadi payung hukum nasional pertama untuk pemanfaatan PLTS Atap justru mencatatkan kemunduran dari peraturan direksi PLN yang sebelumnya dipakai. Peraturan Direksi (Perdir) PLN No 0733.K/DIR/2013 menggunakan tarif
ekspor-impor listrik 1:1 dan periode reset kelebihan transfer listrik berlaku 1 tahun.
Dengan aturan tarif ekspor impor listrik saat ini, periode balik modal untuk pengguna PLTS Atap rata-rata masih di atas 10 tahun sehingga kurang menarik bagi konsumen.

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, mengungkapkan studi pasar yang dilakukan IESR pada 2018 di Jabodetabek, 2019 di Surabaya, dan 2020 di 7 kota di Jawa Tengah serta 3 kota di Bali menunjukkan bahwa mayoritas responden menginginkan periode balik modal di bawah 7 tahun, dengan persentase tertinggi berada
periode 3-5 tahun.

“Harapan ini bisa dipenuhi dengan memperbaiki tarif ekspor impor listrik menjadi minimal 1:1, sehingga periode balik modal dapat diperpendek 1-2 tahun,” ujarnya.

Menurut analisis IESR, untuk meningkatkan keekonomian PLTS Atap sehingga mampu lebih menarik minat masyarakat, pemerintah perlu mengukur kembali nilai beberapa variabel dalam
Permen ESDM No. 49/2018, yaitu: tarif ekspor-impor listrik minimal 1:1, periode reset kelebihan transfer listrik minimal 1 tahun, serta mempertimbangkan batasan kapasitas terpasang 100% dari daya terpasang bangunan dan nilai rekening minimum pelanggan.

Penurunan biaya kapasitas untuk pelanggan industri dari 40 jam menjadi 5 jam per bulan sesuai Permen ESDM No. 16/2019 terbukti mampu meningkatkan minat konsumen commercial & industry (C&I). Ini terlihat dari kenaikan jumlah dan kapasitas PLTS Atap dari pelanggan industri, banyak pula yang sudah dalam skala megawatt untuk 1 lokasi.

Pertimbangan serupa dapat dipakai untuk menghitung rekening minimum yang dibebankan pada pelanggan PLN lain sehingga periode balik modal PLTS Atap dapat dipercepat.
Selain faktor keekonomian, prosedur pemasangan PLTS Atap termasuk penggantian kWh meter yang ringan, jelas, dan efisien juga diharapkan menjadi perhatian pemerintah.

Draft revisi Permen ESDM No. 49/2018 mencantumkan proses pengajuan secara daring yang diharapkan dapat memperpendek waktu tersebut.

Fabby menyampaikan bahwa meski telah disebutkan secara jelas periode
waktu yang diperlukan dalam Permen ESDM saat ini, masih terdapat sejumlah keluhan di berbagai daerah di Indonesia. Survei singkat yang dilakukan IESR pada 22 perusahaan engineering, procurement, and construction (EPC) PLTS Atap menunjukkan bahwa 31% harus menunggu lebih dari 3 bulan untuk penggantian kWh meter exim, sedangkan 31% berikutnya 1-2 bulan.
Padahal dalam Permen disebutkan seharusnya dalam maksimal 15 hari kerja setelah SLO diterima oleh PLN.

Dia menekankan bahwa lemerintah perlu mengedepankan semangat mempermudah masyarakat dan sektor swasta untuk menggunakan PLTS Atap dengan prosedur yang sederhana, jelas, dan melindungi konsumen secara adil. Dengan aturan yang jelas dan memihak masyarakat, potensi pasar yang signifikan untuk sektor residensial, komersial/bisnis, UMKM, hingga industri dapat direalisasikan untuk mendorong tercapainya target energi terbarukan dan target PLTS 17,2 GW di 2035, serta penurunan emisi GRK menuju netral karbon.

“Partisipasi masyarakat dan swasta sangat diperlukan oleh pemerintah, dan pemanfaatan PLTS Atap merefleksikan peran aktif tersebut, dengan sumber daya finansial mereka sendiri,” kata Fabby.(RA)