Persidangan kasus bioremediasi Chevron

JAKARTA – Kejaksaan Agung berupaya mengajukan pengadilan “In Absentia” terhadap salah satu tersangka kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia. Praktisi hukum Maqdir Ismail menilai langkah ini bertentangan dengan prinsip dasar peradilan, menindas hak asasi manusia (HAM) serta melanggar ketentuan dalam Undang-Undang (UU) pidana.

Pernyataan Maqdir ini menanggapi rencana Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Andhi Nirwanto, yang mengatakan pihaknya masih mencari solusi terbaik, terhadap Alexia Tirtawidjaja, satu dari tujuh tersangka kasus proyek bioremediasi Chevron.

“Solusi itu macam-macam, apakah in absentia (pengadilan tanpa menghadirkan terdakwa, red) atau diundang,” ucap Andhi di Jakarta, Jumat, 19 April 2013. Pada September 2012, Andhi sempat mengatakan memberi deadline (batas waktu, red) selama 6 bulan agar Alexia pulang ke Indonesia untuk diperiksa penyidik, namun hingga kini tak pernah jelas.

Menyoal keberadaan Alexia Tirtawidjaja di Amerika Serikat, Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan menjelaskan bahwa Alexia Tirtawidjaja telah meninggalkan Indonesia jauh hari sebelum adanya perkara yang dipersangkakan kepadanya oleh Kejagung terkait proyek bioremediasi Chevron.

Alexia Tirtawidjaja merupakan salah satu anak bangsa terbaik yang terpilih dan memperoleh kesempatan untuk memimpin sebuah unit operasi migas di Amerika Serikat. Selain mengemban tugas tersebut, Alexia juga saat ini menemani suaminya yang sakit dan sedang menjalani perawatan kesehatan yang intensif.

“Keberadaan yang bersangkutan di Amerika Serikat, bukan karena melarikan diri atau secara sengaja menghindar dari proses hukum yang sedang berjalan. Tetapi karena ada kepentingan kemanusiaan, sebab suaminya masih sakit dan tidak mungkin secara medis dibawa ke Indonesia,” ujar Dony.

Terkait langkah Kejagung untuk melakukan upaya peradilan in absentia, pengacara terdakwa karyawan Chevron, Maqdir Ismail pada Rabu, 24 April 2013 menyampaikan bahwa langkah Kejaksaan Agung tersebut bertentangan dengan prinsip dasar peradilan.

Pada hakekatnya kehadiran Terdakwa dalam persidangan mutlak adanya. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 196 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi: “Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain”. Bahkan dalam Statuta Roma Tahun 1998 Pasal 63 ayat (1) dikatakan  bahwa terdakwa harus hadir selama persidangan Pengadilan.

Selain itu dalam  Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Harus Memenuhi Syarat

Maqdir menjelaskan, dalam keadaan tertentu, persidangan in absentia dapat saja dilakukan, kalau memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang  seperti dinyatakan dalam Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.

Kata kunci dari ketentuan ini jika terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir tanpa alasan yang sah menurut hukum, maka pengadilan dapat melakukan pemeriksaan tanpa kehadiran terdakwa. Sehingga pada prinsipnya setiap terdakwa haruslah diperiksa dan didengar keterangannya dalam proses penyidikan hingga proses persidangan dan harus diberi kesempatan untuk membela diri di muka persidangan yang bebas, jujur dan tidak memihak.

Dalam perkara korupsi sekalipun, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan harus dilakukan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku yaitu KUHAP dan secara khusus dalam persidangan ada kewajiban untuk menghadirkan terdakwa.

Oleh karena itulah, maka mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, dan proses pemeriksaan perkara di persidangan terhadap seorang terdakwa harus dilakukan secara baik, benar dan sah menurut hukum. Sebab terhadap seorang tersangka atau terdakwa harus dianggap tidak bersalah, sepanjang belum dinyatakan bersalah oleh satu proses peradilan yang dilakukan secara fair dan berkeadilan, karena pada hakekatnya terhadap semua orang diperlakukan azas praduga tak bersalah (presumption of innocence).

Maqdir pun melanjutkan bahwa peradilan yang akan dilakukan secara in absentia, akan mencederai hak asasi manusia mengingat secara faktual Kejaksaan Agung belum pernah memanggil Alexia Tirtawidjaja secara patut dan sah menurut hukum. Tanpa hadirnya terdakwa, akan membuat terdakwa kehilangan seluruh haknya di depan hukum, karena tidak dapat melakukan pembelaan diri secara patut dan sesuai hukum.

(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)