JAKARTA- Rencana pemerintah untuk membatasi konsumen membeli bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite di SPBU dinilai tidak efektif karena pelaksanaan di lapangan tidak mudah. Pemerintah sebaiknya merevisi ulang rencana pembatasan pembelian BBM dengan kadar oktan (RON) 90 tersebut karena dikhawatirkan biaya implementasi program tersebut jauh lebih besar dibandingkan penghematan.

“Sebelumnya juga sudah pernah ada kebijakan serupa, misalnya melalui RFID (Radio Frequency Identification). Juga tidak berhasil,” ujar Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute kepada Dunia Energi, Jumat (27/5/2022).

Komaidi menilai, rencana pembatasan konsumsi pertalite itu erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan pertalite sebagai BBM Penugasan. Seperti diketahui pemerintah menyatakan bahwa pertalite masuk Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBBKP) pada Maret 2022 yang berlaku surut. Pertamina menyediakan pertalite dengan harga pasar tapi dijual dengan harga Rp7.650 per liter, padahal harga keekonomiannya saat ini mencapai Rp12.665 per liter. Pemerintah juga memproyeksikan penambahan kuota pertalite tahun ini menjadi 28,5 juta kiloliter (KL) dari estimasi awal 23 juta KL.

 

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute. (dok)

Dunia Energi sebelumnya memberitakan, pemerintah tengah menggodok aturan main baru dalam mekanisme pembelian BBM JBKP pertalite yang dijual Pertamina. Aturan baru itu nantinya merevisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Sumber Dunia Energi menyebutkan perubahan nantinya tidak terlalu banyak dan akan difokuskan kepada lampiran dari Perpres. Dalam perubahan yang masih digodok oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu akan ada perubahan konsumen yang berhak membeli BBM dengan kadar oktan (RON) 90 itu berikut cara membelinya.

Menurut Komaidi , rencana pembatasan pembelian pertalite akan membuat ruwet di lapangan. Apalagi jika konsumen berkukuh ingin membeli pertalite. “Kalau konsumen ngeyel minta pertalite, petugas SPBU bisa apa, yang ada peluang berantem di SPBU,” jelas Komaidi.

Dia menyebutkan, pemerintah semestinya sudah tahu peta (map) pengguna BBM. Apalagi pertalite sudah ditetapkan jadi BBM Penugasan. “Kalau pertalite jadi penugasan, ya mesti harus sudah siap. Jangan kemudian sudah jadi penugasan baru kaget setelah tahu ada konsekuensinya,” ujarnya.

Salah satu konsekuensi dari penetapan pertalite sebagai BBM Penugasan adalah kewajiban pemerintah untuk memberikan kompensasi kepada Pertamina. Pasalnya, BUMN ditugasi oleh pemerintah untuk mengadakan dan mendistribusikan BBM subsidi dan BBM Penugasan. Padahal sesuai Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, pencadangan minyak dan gas bumi adalah kewajiban negara dalam hal ini pemerintah. BUMN hanya instrumen untuk menjalankan.

“Pemerintah jujur saja solusinya. Kalau memang tidak kuat, ya naikin (harga pertalite). Tak  usah cari citra terus. Masalah tak akan selesai hanya dengan Pak Presiden curhat. Masalah selesai kalau berani ambil Tindakan tegas: naikin harga atau tidak,” ujar  pakar kebijakan publik di sektor energi jebolan Universitas Trisakti ini.

Irto P Gintings, Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga-Subholding Commercial & Trading Pertamina, mengatakan dengan ditetapkannya Pertalite sebagai JBKP, artinya sebagai BBM bersubsidi, maka penyalurannya harus tepat kepada masyarakat yang berhak mendapatkan subsidi. “Ini perlu diatur kriteria yang tepat,” ujar Irto kepada Dunia Energi. (DR)