JAKARTA – terbaru Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menilai proyek smelter alumunium yang digarap Adaro Grup cukup rentan dari sisi keekonomian. Selain itu dari sisi lingkungan juga cukup dipertanyakan.

Ghee Peh, dan Analis Keuangan Energi IEEFA, mengungkapkan butuh waktu bertahun-tahun untuk mengembalikan investasi senilai US$ 2 miliar untuk pembangunan fase pertama proyek smelter aluminium dan PLTU milik Adaro Group—dengan asumsi harga logam mineral cukup tinggi.

Menurut dia dari aspek lingkungan, PLTU fase pertama proyek ini diprediksi menghasilkan karbondioksida setara hampir 1% dari total emisi CO2 Indonesia pada 2021.

“Kondisi finansial proyek ini cukup lemah, di mana Adaro akan rugi dengan harga aluminium saat ini,” kata Ghee Peh dalam keterangannya (12/10).

Menurutnya Emisi CO2 yang dihasilkan juga mengkhawatirkan, karena tidak hanya terkait jumlahnya, PLTU Adaro ini dapat dilabeli sumber listrik ramah lingkungan.

Pada 2020, Adaro, perusahaan energi berbasis batu bara, mengusulkan pembangunan kompleks smelter aluminium dalam tiga fase di Kaltara Industrial Park, Kalimantan Utara. Fase I smelter ini menargetkan produksi aluminium 500 kiloton per tahun (ktpa) dan akan mendapat pasokan energi dari PLTU captive 1.100 megawatt (MW). Konstruksi proyek ini sedang berlangsung.

Pembangkit listrik captive adalah sumber listrik yang tidak tersambung jaringan listrik nasional, yang dikelola dan digunakan oleh industri tertentu. Dalam hal produksi aluminium, pengolahannya dari alumina sangat padat energi yang membutuhkan 15.700 kilowatt hour (kWh) untuk menghasilkan 1 ton aluminium.

Proyek Adaro diusulkan dengan alasan untuk memanfaatkan potensi bauksit yang melimpah dan ketersediaan energi batu bara dan air di wilayah tersebut.

“Konstruksi kapasitas tambahan smelter aluminium di Indonesia dapat dikaitkan dengan dua alasan: untuk meringankan kekurangan domestik dan memanfaatkan sumber daya bauksit Indonesia guna menciptakan nilai tambah bagi ekonomi,” kata Peh.

Tantangan untuk mengembalikan modal fase I proyek Adaro nyata adanya, di mana dalam perhitungannya, Peh menyimpulkan ada risiko kerugian finansial dengan harga global aluminium saat ini sebesar US$ 2.200/ton.

Fase I dapat menghasilkan 5,2 juta ton CO2 ketika beroperasi. Angka ini setara dengan 0,8% total emisi CO2 Indonesia pada 2021.”

“Di bawah skenario harga terbaik aluminium US$ 2.800/ton, butuh waktu 8-11 tahun bagi smelter aluminium fase I Adaro 500 ktpa dan PLTU 1.100 MW untuk mengembalikan modal belanja US$ 2 miliar, dan dengan asumsi bahwa harga aluminium akan naik 30% dari level saat ini,” ujar Peh. (RI)