JAKARTA – Trend Asia bersama Walhi Jakarta dan Pena Masyarakat meluncurkan laporan berjudul “Racun Debu di Kampung Jawara” yang berisi tentang analisis risiko proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 9 dan 10 di Cilegon, Banten. Laporan tersebut sekaligus mengekspos bagaimana komitmen baru partai pendukung Presiden Korea Selatan Moon Jae In untuk mengurangi emisi dan laju pemanasan global melalui “Green New Deal” tidak relevan karena masih mendukung kebijakan investasi kotor di luar negeri.

Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, mengatakan saat ini PLTU yang telah berdiri di Banten sudah memperlihatkan berbagai dampak terhadap lingkungan hidup dan memengaruhi sumber kehidupan manusia.

“Menambah PLTU sama dengan memperparah keadaan lingkungan hidup. Pilihan ini juga mengesampingkan desakan publik agar negara segera beralih ke energi bersih terbarukan yang adil dan berkelanjutan, melalui transisi yang berkeadilan. Mendanai proyek PLTU sama saja mensponsori pengrusakan lingkungan,” kata Tubagus, Selasa (23/6).

Dia menegaskan tujuan pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 patut dipertanyakan. Proyek tersebut jelas tidak strategis, sebab ketersediaan listrik di Pulau Jawa sudah kelebihan pasokan.

Diketahui dalam waktu dekat KEPCO, salah satu lembaga pendanaan dari perusahaan listrik Korea Selatan akan mengadakan rapat untuk memutuskan kelanjutan pendanaan proyek Jawa 9 dan 10. Sebelumnya, studi kelayakan bisnis proyek ini menemukan bahwa proyek tersebut bukan investasi yang menguntungkan.

“KEPCO mencari persetujuan dewan untuk proyek Jawa 9 dan 10, meskipun KDI (Korean Development Institute) telah berulang kali memperingatkan bahwa proyek ini memiliki profitabilitas negatif dalam studi pra-kelayakan. Jika KEPCO bersikeras untuk mengejar proyek ini, maka akan menghasilkan
kerugian yang signifikan, tidak hanya untuk KEPCO, tetapi juga mitranya di Indonesia serta investor keuangan dari proyek tersebut,” demikian disampaikan Sejong Youn, Director of Overseas Coal
Program Solutions for Our Climate.

PLTU 9 dan 10 merupakan proyek pembangkit listrik PT PLN (Persero). Pada 10 September 2018 Independent Power Producer (IPP) PT Indo Raya Tenaga mencapai kesepakatan dengan Doosan Heavy Industries and Construction (Korea Selatan) dan PT Hutama Karya untuk membangun dua
unit baru PLTU. Proyek dengan nilai investasi sebesar US& 3,2 miliar dolar ini didanai oleh Korea Development Bank (KDB), Korea Export-Import Bank (K-Exim).

Seperti diketahui, hingga saat ini PLN terus mengalami kerugian keuangan dan masih bergantung pada subsidi pemerintah.

“Apa yang akan terjadi jika PLN terkunci dengan kewajiban untuk memenuhi pembayaran kapasitas beban dasar dari IPP tanpa memiliki permintaan yang disyaratkan, sementara PLN tidak memiliki kemampuan untuk menaikkan tarif? Apa yang akan terjadi jika pemerintah tidak dapat lagi mendukung kebutuhan arus kas PLN, mengingat defisit fiskal kita telah melebar lebih dari dua kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya?” kata Elrika Hamdi, Pengamat Energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA).

Proyek PLTU 9 dan 10 diyakini akan menambah kerentanan masyarakat yang hidup dalam bayang persoalan limbah industri dan pandemi Covid-19. Polusi udara yang dihasilkan oleh corong PLTU akan berdampak luas bagi warga Banten, pun Jakarta. Kehadiran proyek ini tentu akan sangat menghimpit ruang hidup masyarakat dan menurunkan daya tahan warga dalam menghadapi situasi seperti sekarang ini.

Andri Prasetiyo, Periset dan Pengampanye Trend Asia, mengatakan bahwa PLTU Jawa 9 dan 10 menjadi mega proyek investasi yang tidak strategis dan tidak relevan.

“Proyek ini akan membawa dampak lingkungan, ekonomi, dan kesehatan masyarakat yang teramat besar kedepan. Langkah paling menguntungkan saat ini justru adalah segera meninjau ulang dan mengambil keputusan akhir untuk membatalkan,” tandas Andri.(RA)