JAKARTA – Pemerintah akan mengganti mobil dinas pemerintah menjadi mobil listrik, sesuai Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Namun, tidak dijelaskan, alasan atau tujuan mengganti kendaraan dinas menjadi mobil listrik.

“Apakah karena total biaya operasional selama kepemilikan, atau yang dikenal dengan total cost of ownership, untuk mobil listrik lebih murah dibandingkan dengan mobil dengan Bahan Bakar Minyak (BBM)? Atau apakah mobil listrik lebih bersih dari mobil BBM, artinya emisi karbon mobil listrik lebih rendah dibandingkan mobil BBM? Alasan yang mana, yang menjadi dasar keputusan pemerintah mengganti mobil dinas menjadi mobil listrik tersebut? Atau keduanya?” kata Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Sabtu (8/10).

Anthony mengungkapkan, beberapa kajian di Amerika Serikat (AS) menyebut biaya operasional dan kepemilikan mobil listrik tidak selalu lebih murah dari mobil BBM. Bahkan, kajian caranddriver.com, https://www.caranddriver.com/shopping-advice/a32494027/ev-vs-gas-cheaper-to-own/, yang membandingkan mobil listrik dengan mobil BBM, untuk merek dan jenis mobil yang sama, total cost of ownership (TOC) mobil BBM ternyata lebih irit dari mobil listrik.

Lebih lanjut Anthony memaparkan, Caranddriver.com membandingkan total biaya kepemilikan Mini Cooper Hardtop BBM dengan Mini (Cooper) Electric. Hasilnya, Mini Cooper BBM lebih irit US$7.858 untuk total biaya kepemilikan selama tiga tahun. Belum termasuk insentif tax credit untuk mobil listrik, apabila ada. Total biaya kepemilikan tiga tahun Mini Cooper Hardtop BBM sebesar $41.454 versus Mini Cooper Electric sebesar US$49.312.

Sedangkan selisih biaya kepemilikan selama tiga tahun untuk Hyundai Kona BBM (sebesar US$39.817) versus Hyundai Kona Electric (sebesar US$55.311) lebih besar lagi. Hyundai Kona BBM lebih irit US$15.494.

“Bagaimana di Indonesia? Apakah mobil listrik lebih irit? Jangan sampai keputusan mengganti mobil dinas dengan mobil listrik malah akan membebani APBN,” kata Anthony.

Ia mengingatkan tentang perhitungan devisa yang terkuras, karena mobil listrik harus diimpor dari luar negeri. Sedangkan mobil BBM diproduksi di dalam negeri.

“Bukankah Presiden Jokowi sering mengatakan, betapa bodohnya kita harus impor terus, padahal ada produksi dalam negeri?
Atau, apakah mungkin keputusan mengganti mobil dinas pemerintah dengan mobil listrik karena emisi karbon mobil listrik lebih rendah, alias lebih baik, dari mobil BBM?” kata Anthony.

Ia menyatakan pendapatnya tersebut juga tidak sepenuhnya benar, tergantung bagaimana listrik tersebut diproduksi, apakah menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT) atau energi fosil seperti batu bara, gas, solar.

Apabila porsi EBT dalam pembangkit listrik sangat besar, seperti di Selandia Baru yang mencapai 80%, maka emisi karbon mobil listrik pasti jauh lebih baik, atau lebih rendah.

“Tetapi di Indonesia sangat beda. Indonesia bukan Selandia Baru. Bauran pembangkit listrik di Indonesia masih dikuasai energi fosil, khususnya batubara yang merupakan energi yang sangat kotor,” ungkap Anthony.

Dia menyebutkan pada tahun 2020, porsi EBT hanya 6,13%, dan tenaga air 8,04 persen. Sedangkan energi fosil batu bara mencapai 64,27%, gas mencapai 17,81 persen dan BBM (solar) mencapai 3,01%. Dengan komposisi bauran pembangkit listrik di Indonesia seperti itu, maka mobil BBM sepertinya jauh lebih bersih dari mobil listrik.

https://www.sustainabilityexchange.ac.uk/files/cambridge_regional_college_sus_how_much_energy_do_you_use_pdf.pdf.

Oleh karenanya, kata Anthony, pemerintah seharusnya berupaya memperbesar porsi EBT di dalam bauran pembangkit listrik terlebih dahulu, sebelum memutuskan mengganti mobil dinas dengan mobil listrik, agar emisi karbon pembangkit listrik menjadi lebih rendah, dan emisi karbon mobil listrik lebih bersih dari mobil BBM.

“Jangan sampai keputusan mengganti mobil dinas dengan mobil listrik seperti yang terjadi pada wacana konversi kompor gas ke kompor listrik, yaitu untuk menyerap surplus listrik PLN, dan sekaligus menciptakan proyek APBN?” kata Anthony.(RA)