JAKARTA – PT PLN (Persero) tengah dililit permasalahan cukup pelik. Di tengah pandemi virus Corona atau Covid-19, kondisi keuangan PLN tertekan akibat anjloknya penjualan listrik sepanjang kuartal I 2020  dan diprediksi masih akan berlangsung hingga beberapa bulan ke depan. Kebutuhan perusahaan akan dana segar sekarang ini menjadi perhatian manajemen.

Penurunan konsumsi listrik serta melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) telah membebani kondisi keuangan PLN. Setiap pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS Rp 1.000, maka beban PLN bisa membengkak Rp9 triliun terhadap kewajiban-kewajiban yang harus dibayar PLN. Apalagi, porsi utang valuta asing PLN sangat dominan, yakni sekitar 70%.

Untuk itu berbagai instrumen yang bisa jadi sumber dana baru terus diupayakan termasuk piutang pemerintah yang jumlahnya mencapai Rp48 triliun.

Zulkifli Zaini, Direktur Utama PLN,  mengatakan pemerintah memiliki utang ke PLN yang merupakan kompensasi dari tidak adanya penyesuaian tarif listrik dalam beberapa tahun yang lalu. Pada 2018 piutang pemerintah sebesar Rp 23 triliun dan tahun lalu kompensasi yang belum dibayar pemerintah sebesar Rp25 triliun.

“Utang pemerintah ke PLN merupakan kompensasi sebesar Rp48 triliun, Rp23 triliun utang 2018, sedangkan Rp 25 triliun kompenpasi 2019. Untuk 2019 masih dalam proses audit BPK,” kata Zulkifli disela rapat dengan komisi VII DPR, Rabu (22/4).

Untuk itu PLN sudah membicarakan kejelasan pembayaran piutang kepada pemerintah seperti Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Keuangan.

“Kami sedang mempersiapkan untuk memohon kiranya pemerintah dengan kami berkoordinasi Kementerian BUMN, Kementarian ESDM, Kementerian Keuangan agar piutang kami ke pemerintah ini sebesar lebih kurang Rp48 triliun dipertimbangkan bisa dibayar,” kata Zulkifli.

Dengan anjloknya penjualan PLN karena penurunan permintaan listrik sekitar 9,7% PLN memproyeksi ada potensi kehilangan pendatapan dari penjualan listrik mencapai Rp35 triliun.

Di saat yang sama kini PLN memiliki kewajiban untuk melunasi utang yang jatuh tempo tahun ini mencapai Rp35 triliun. “Utang jatuh tempo ada sebesar Rp 35 triliun ini yang merupakan tanggung jawab kami untuk bisa dipenuhi dengan baik,” tukasnya.

Untuk masalah utang jatuh tempo ini PLN kata Zulkifli sudah berupaya agar para kreditur atau perbankan bisa lakukan reprofiling utang.

“Kami saat ini sedang melakukan pendekatan terhadap bank-bank untuk melakukan reprofiling daripada pokoknya. Jadi kami mencoba, kalau ada pokok utang yang jatuh tempo di tahun 2020 ini, kami memita untuk reprofiling ke tahun berikutya,” ungkap Zulkifli.

Selain itu, PLN pun meminta keringanan terhadap kewajiban yang harus ditunaikan pada pemerintah, seperti Subsidiary Loan Agreement (SLA). “Kami juga bicara dengan Kemenkeu, apabila kewajiban kami kepada pemerintah terkait dengan SLA, kami pun akan memohon untuk meringankan beban kami tersebut,” kata Zulkifli.

Eddy Soeparno,  Wakil Ketua Komisi VII DPR, mengatakan kompensasi kepada PLN sepatutnya bisa diselesaikan. Ia mendorong PLN untuk dapat menjajaki peluang pendanaan melalui Komite Stabilias Sistem Keuangan (KSSK).

Komisi VII mendorong Dirut PLN untuk menjajaki peluang pendanaan melalui KSSK bilamana nanti dibutuhkan untuk mengatasi defisit cash flow di PLN,” kata Eddy.(RI)