JAKARTA – PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), subholding gas PT Pertamina (Persero) mendapatkan tugas untuk memonetisasi potensi gas dari lapangan-lapangan gas yang dikelola Pertamina dan afiliasinya.

Syahrial Mukhtar,  Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis PGN, mengungkapkan sebagai subholding gas, PGN saat ini tengah mencari cara paling tepat untuk bisa memonetisasi lapangan-lapangan gas Pertamina yang hanya bisa berproduksi dalam jumlah kecil. Selain itu, lapangan tersebut juga memiliki ongkos produksi yang tinggi.

“Gas-gas ini secara produksi kecil, profilnya juga enggak lama. Lokasinya juga berada di wilayah yang jauh dari infrastruktur yang sudah ada saat ini. Ini juga potensial high cost production,” kata Syahrial disela Indonesia Oil and Gas Convention 2020, Kamis (3/12).

Setidaknya ada 13 lapangan gas marjinal yang saat ini dikelola oleh PT Pertamina EP (PEP) serta beberapa anak perusahaan PT Pertamina Hulu Energi (PHE) yang harus dicarikan solusi akan kepastian penyerapan gasnya oleh PGN.

Syahrial mengatakan kunci utama dalam mengembangkan potensi gas adalah dengan memiliki pembeli utama (anchor buyer). Dengan keberadaan pembeli utama itu maka infrastruktur untuk mendistribusikan bisa dibangun.

“Infrastruktur gas ini butuh anchor buyer kan. Nature-nya kan gitu. Infrastruktur butuh anchor buyer agar secara keekonomian bisa dibangun dan demand tumbuh. Nah, inilah tantangan dalam pengelolaan gas. Sebagai subholding gas Pertamina, kami akan problem solver gas-gas marginal ini bisa dikelola di kami,” ungkap Syahrial.

Dari 13 lapangan gas ada enam lapangan yang akan diintensifkan proses monetisasinya,  terdiri dari tiga lapangan di Sumatera, satu lapangan masing-masing di Papua, Jawa Barat dan Kalimantan.

“Enam lapangan kami tindak lanjuti. Lapangan Ogan, ini relatifnya kecil kecil (produksinya) 1-4 juta kaki kubik per hari (MMscfd). Jambi, Jabar, Selowati di Papua, Kalimatan dan lain-lain. Nah, ini yang kemudian kami kelola,” kata Syarial.

Dia mengungkapkan salah satu opsi monetisasi gas adalah dengan melakukan regasifikasi atau diolah menjadi CNG. Tapi setelah dilakukan kajian rencana tersebut urung dilakukan karena ternyata biaya yang dibutuhkan cukup tinggi.

Menurut Syahrial, aturan harga gas maksimal US$6 per MMBTU untuk industri dan pembangkit listrik juga menambah kesulitan PGN dalam memasarkan gas-gas dari lapangan marjinal.

Pasalnya, butuh dana untuk regasifikasi atau mengubah ke CNG, plus biaya transport sekitar US$2-US$3.

PGN sebenarnya sudah memiliki infrastruktur di Sumatera Jawa, namun karakter lapangan gas marjinal ini harus dekat dengan infrastruktur utama

“Itu nanti ada masalah teknis juga kayak misalnya ke sistem kami itu enggak masuk. Tekanan rendah, butuh kompresor, platonya juga enggak lama. Kalaupun kamu bangun pipa, keekonomiannya juga harus dihitung. Maka biasanya kami langsung masukan ke pipa terdekat saja,” kata Syahrial.(RI)