JAKARTA – PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi,  akan memacu penjualan tabung Bright Gas 5,5 kg untuk meningkatkan volume penjualan Liquified Petroleum Gas (LPG). Sejak diluncurkan pertama kali pada Oktober 2015, hingga saat ini tabung Bright Gas5,5 kg telah terjual sebanyak lebih dari 100 ribu tabung.

“Kami harapkan dalam jangka tiga bulan ke depan, kami dapat menjual 200 ribu tabung lebih, sehingga dapat mendukung pencapaian laba yang ditargetkan perseroan,” ujar  Wianda Pusponegoro, Vice President  Corporate Communication Pertamina, di Jakarta, Kamis (12/5).

Pertamina yang sebelumnya merugi dari bisnis LPG hingga Rp 4 triliun per tahun, terutama akibat menjual Elpiji 12 kg dibawah harga keekonomian, mulai mencatat laba sejak September 2015. Hal ini seiring penyesuaian harga yang dilakukan bertahap hingga sesuai keekonomian sejak tahun lalu.  Namun penyesuian harga Elpiji 12 kg juga berdampak pada beralihnya sebagian konsumen ke Elpiji 3kg. Pasalnya, gap antara harga Elpiji 3 kg dengan 12 kg hampir Rp7.000 per kg.

Wianda mengatakan jika pada Januari 2014, penjualan Elpiji 12 kg masih mencapai 76 ton per bulan, pada April 2015 turun menjadi 46 ton per bulan dan tinggal 42 ton per bulan pada Desember 2015.

“Karena itu, kami lahirkan Bright Gas kemasan 5,5 kg yang tujuannya adalah mengisi gap konsumen antara yang 3 kg dengan 12 kg. Dengan begitu, kami masuk di tengah-tengah, agar konsumen 12 kg itu tidak langsung ke 3 kg, tetapi ada produk penyangga,” ungkap dia.

Menurut Wianda, ada swing user yang sebetulnya bisa kembali ke Elpiji non-PSO. Pertamina mencatat yang benar-benar menggunakan 12 kg hanya sekitar 29%,sementara yang 3 kg atau betul-betul beralih ke 3 kg ada kurang lebih 11%.

“Ada 53% yang mereka sebetulnya masih tetap memegang tabung Elpiji 12 kg, tetapi kadang mereka juga membeli 3 kg. Ini yang disebut swing user, potensinya sangat besar,” kata dia.

Selain itu, lanjut Wianda, juga ada potensi dari pengguna dengan kebutuhan sedikit atau low usability customer, dimana saat kenaikan harga pada 2014 dan 2015, menjadikan tabung 12 kg sebagai cadangan semakin banyak dari 23% menjadi 37%.“Itulah yang menjadi target pasar kita dan bagaimana merebut kembali merekabalik ke LPG Non Subsidi,” katanya.

Sebetulnya konsumen ingin mendapatkan LPG dengan harga terjangkau, yang satuan per kilonya juga lebih murah. Dengan kemasan yang lebih kecil, konsumen tentuakan mengeluarkan sedikit uang dibanding kemasan 12 kg yang harus ditebus seharga Rp150 ribu. Sementara dengan kemasan 5,5 kg, konsumen hanya perlu mengeluarkan uang kurang dari Rp 60 ribu.

Di bisnis LPG, tantangan terbesar adalah disparitas harga subsidi yang sangatbesar >70%. Selain itu, konsumennya harus memiliki tabung terlebih dahulujika ingin pindah ke nonsubsidi.“Karena itu, kami masuk dengan strategi trade in atau tukar tabung subsidi yang 3kg ke nonsubsidi,” tandas Wianda.

Hari Purnomo, Anggota Komisi VII DPR, mengatakan pertumbuhan ekonomi meski tidak signifikan akan ikut mendorong penjualan LPG Pertamina. Pasalnya,kebutuhan energi masyarakat seiring waktu akan terus tumbuh, makin lama pemakaiannya makin tinggi.  “Jadi bukan semata-mata keberhasilan Pertamina menjual LPG, tapi pasarnya juga meningkat. Sama saja seperti bahan makanan bahan pokok setiaptahun meningkat,” kata Hari.

Prospektif

Andy Noorsaman Sommeng, Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas),mengatakan berdasarkan data Pertamina, bisnis LPG nasional ke depan sangat prospektif.”Apalagi kalau semua propinsi dan kabupaten konversi minyak tanah-nya berjalan dengan baik, kebutuhan LPG akan meningkat,” kata dia.

Sofyano Zakaria, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), mengatakan Pertamina mendapat penugasan khusus dari pemerintah untuk mengadakandan menyalurkan LPG,  khususnya Elpiji 3kg yang disubsidi pemerintah. Hal ini terkait dengan program konversi minyak tanah ke Elpiji 3 kg yang sudah terbukti berhasil menghemat anggaran pemerintah. “Pertamina, sebagai BUMN terbukti mampu melaksanakan tugas penyediaan danpendistribusian Elpiji 3kg hampir diseluruh wilayah Indonesia, terkecuali di Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur yang masih belum dilaksanakan program konversi minyak tanah ke Elpiji 3 kg,” ungkap dia.

Menurut Sofyano, penugasan PSO Elpiji 3kg kepada Pertamina nyaris tidak memberikan keuntungan sebagaimana yang diharapkan oleh badan usaha yang bisnisoriented, walau sebenarnya menurut undang-undang Perusahaan Terbatas dan UU BUMN, Pertamina wajib mengejar dan menghasilkan keuntungan.”Ini tidak mungkin bisa dilakukan oleh badan usaha swasta karenanya nyaristidak ada komplain atau gugatan yang mempermasalahkan penugasan Elpiji 3kg kePertamina,” katanya.(RA/RI)