JAKARTA – PT Pertamina (Persero) memiliki target menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemasok produk minyak bumi jenis solar di kawasan Asia Pasifik. Untuk bisa mewujudkan target tersebut syarat utamanya harus bisa merampungkan dulu proyek kilang yang kini sedang dikerjakan.

Ignatius Tallulembang, Direktur Mega Proyek dan Petrokimia Pertamina, mengatakan  terdapat peluang untuk mengekspor solar ke pasar Asia Pasifik, terutama ke lima negara yang menjadi incaran yakni Vietnam, Filipina, Papua Nugini, Australia, dan Selandia Baru.

Meski region Asia Pasifik secara umum bakal kelebihan pasokan solar hingga 1,06 juta barel per hari (bph), tidak semua negara mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Lima negara tersebut diproyeksikan akan kekurangan solar pada 2030.

Menurut Tallulembang, setelah seluruh proyek kilang rampung, Indonesia akan mampu memenuhi seluruh kebutuhan BBM nasional alias tidak ada lagi impor. Bahkan, untuk BBM jenis solar, Pertamina memproyeksikan adanya kelebihan produksi yang dapat diekspor.

“Solar akan melebihi kebutuhan. Tetapi kalau melihat supply demand di region, misalnya Asutralia dan Selandia Baru, mereka defisit dan ini jadi peluang kita untuk ekspor solar setelah proyek kilang selesai,” kata Tallulembang dalam jumpa pers secara virtual, akhir pekan lalu.

Berdasarkan data yang dimiliki Pertamina, Australia akan defisit solar hingga 427 ribu barel per hari (bph), di susul Filipina 152 ribu bph, Vietnam 104 ribu bph, Selandia Baru 40 ribu bph, dan Papua Nugini 23 ribu bph. Sementara pasca proyek upgrading yang menyasar empat kilang eksisting rampung pembangunan kilang baru selesai, produksi solar Pertamina diperkirakan sekitar 600 ribu bph dengan kebutuhan domestic di bawah 500 ribu bph.

“Sehingga, kelebihan solar tidak jadi masalah, karena bisa diekspor ke negara yang membutuhkan,” ujarnya.

Namun untuk bisa jadi pemasok, Pertamina juga harus menghasilkan produk BBM yang memiliki kualitas terbaru dan terbaik pada zamannya nanti. Itu semua tidak akan bisa dipenuhi dengan kondisi spesifikasi kilang saat ini.

Teknologi kilang di Indonesia sudah ketinggalan zaman, kilang terakhir yang dibangun adalah Kilang Balongan pada 1990. Kilang nasional memiliki kompleksitas yang lebih rendah dibandingkan dengan kilang di negara lain yang lebih modern. Akibatnya, yield atau tingkat konversi menjadi produk bernilai kilang di Indonesia hanya sekitar 75% dibandingkan kilang modern yang telah mencapai 95%. Selain itu, BBM yang dihasilkan juga akan memiliki kualitas setara Euro V.

“Keekonomian kilang kita lebih rendah. Ini karena teknologi yang dipakai teknologi lama,” kata Tallulembang.

Jika Indonesia selesai tingkatkan kualitas dam spesifikasi kilang maka Pertamina akan bisa bersaing dengan pemasok BBM lainnya di dunia seperti China yang memiliki kelebihan volume produksi solar mencapai 639 ribu bph, Korea Selatan 491 ribu bph, Singapura 220 ribu bph, serta Jepang 110 ribu bph.(RI)