JAKARTA – PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM), cucu usaha PT Pertamina (Persero) akan melakukan 257 pengeboran di Blok Mahakam mulai tahun depan hingga 2023. Rencana tersebut sudah disetujui Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melalui Optimasi Pengembangan Lapangan-Lapangan (OPLL), sebagai bagian dari upaya menjaga produksi di Blok Mahakam.

OPLL juga mencangkup pemasangan booster compressor di salah satu anjungan di Lapangan Peciko dan pemasangan pipa dari anjungan Jempang Metulang di Lapangan South Mahakam ke anjungan Sepinggan P yang dioperasikan PT Pertamina Hulu Kalimantan Timur untuk memasok gas ke kilang Refinery Unit (RU) V di Balikpapan.

John Anis, General Manager PHM,  mengungkapkan karakter reservoir di WK Mahakam sangat unik karena lokasinya yang berada di Delta Sungai Mahakam, dikenal dengan deltaic system. Di WK tersebut reservoir minyak dan gas berbentuk seperti ribuan kantong-kantong kecil yang tersebar di area rawa dan laut seluas lebih dari 3.000 km2, dengan kedalaman hingga 5.000 meter. Produksi Mahakam sangat tergantung dari pengeboran sumur-sumur baru, karena reservoir-reservoir itu tidak terkoneksi satu sama lain. Sejauh ini berbagai reservoir di main zone telah diproduksi, sehingga untuk kelanjutan WK Mahakam maka diproduksi sumur-sumur di shallow zone (zone dangkal), dan ke depan dikembangkan sumur-sumur High Pressure High Temperature (HPHT).

“Kami harus pertahankan produksi teknologi baru. Contohnya dulu kami ngebor di kedalaman 4.000 meter, lalu diproduksi. Ternyata di kedalaman 1.000 meter ada sumber juga, dulu di situ enggak bisa kami produksi karena namanya unconsolidated zone,” kata John disela IPA Convex 2019, Jakarta, Kamis (5/9).

Menurut John, para engineer di PHM kini terus mengembangkan teknik dan metode yang aman untuk menghasilkan gas di zona-zona dangkal yang sebelumnya dinilai berbahaya  untuk diproduksi, atau dinamakan shallow gas development. Sejauh ini upaya tersebut mencapai tingkat keberhasilan yang baik karena telah dibor lebih dari 200 sumur di zona tersebut tanpa ada insiden apa pun dan gasnya dapat diproduksi. Ke depan, shallow gas development yang telah sukses di kawasan rawa-rawa (swamp area) akan dikembangkan juga ke lapangan-lapangan yang ada di lepas pantai (offshore).

PHM juga merencanakan penerapan metode pengeboran High Pressure High Temperature (HPHT) di Lapangan Tunu pada 2020. Untuk itu, terus dibuat perencanaan dan arsitektur pengeboran yang khusus dan seksama, karena kegiatan pengeboran nantinya akan menghadapi tantangan tekanan reservoir yang tinggi (>13.000 Psia) dan suhu gas yang sangat panas (>160oC). Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mengintegrasikan produksi dari sumur-sumur HPHT itu dengan fasilitas produksi yang sudah ada, karena tidak dirancang untuk produksi gas yang menggunakan teknologi HPHT.

Para ahli perminyakan di PHM juga telah mengembangkan arsitektur sumur yang lebih sederhana (light architecture), sehingga mampu mempercepat  pengeboran sumur-sumur baru. Sejumlah rekor pernah dicapai, yakni menyelesaikan pengeboran sumur gas dalam 3,4 hari, dan sumur minyak hanya dalam tempo 4,98 hari di Lapangan Handil. Aplikasi berbagai teknologi juga  mempersingkat aktivitas pengeboran lebih dari 1,5 hari. Inovasi tersebut telah berhasil memangkas biaya operasi pengeboran.

Dalam upaya optimasi ini, tengah dikembangkan pula  design platform yang lebih tepat guna (Ultra Minimalist Platform) dengan memakai struktur Zeepod atau pun Braced Monopod, yang disesuaikan dengan kebutuhan.

“Kami kan lapangannya mature, tapi kan bukan berarti tidak bisa produktif. Tapi harus dikelola dengan baik, pertama harus safety karena yang sudah lama itu kan pipanya bisa bocor atau pecah. Atau juga kegagalan peralatan atau alatnya rusak, tidak bisa diexport gasnya rugi. Ini harus dimaintance dengan baik tapi sesuai standar,” ungkap John.

Sepanjang 2019, PHM telah memprogramkan untuk  tajak 118 sumur, dimana 78 sumur sudah selesai dibor hingga akhir Agustus 2019 (target WP&B hingga Agustus 2019 adalah 71 sumur). Sementara tingkat produksi pada Juli 2019 adalah sebesar 700 mmscfd (wellhead), yang telah bertahan sejak Februari 2019 dan akan terus dipertahankan hingga akhir tahun. Sejauh ini Pertamina telah berhasil menahan laju penurunan produksi Mahakam dengan performa yang lebih tinggi dibandingkan perkiraan yang pernah dilakukan sebelumnya yakni sebesar 686 MMscfd (2% lebih tinggi) di tahun 2019.(RI)