JAKARTA – Harga Batubara Acuan (HBA) bulan Juli terkoreksi ke angka US$319,00 per ton atau turun US$4,91 per ton dari bulan Juni, yaitu US$323,91/Ton per ton.

Agung Pribadi, Kapala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerjasama (KLIK) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menjelaskan harga batu bara asal Rusia asal Rusia saat ini sedang dibanderol murah yang membuat permintaan impor batu bara ke Tiongkok dan India mengalami peningkatan signifikan.

“Ada diskon khusus batubara yang berasal dari Rusia. Diskon ini membuat Tiongkok dan India meningkatkan kapasitas impor mereka,” kata di Jakarta, Sabtu (2/7).

Agung menuturkan ketertarikan Tiongkok dan India melakukan impor batu bara dari Rusia dikarenakan harga batu bara global yang mulai merangkak naik akibat kelangkaan pasokan dan harga gas alam cair yang semakin mahal.

Di samping itu, faktor lain dari penuruan HBA Juli adalah meningkatnya produksi batu bara domestik India untuk mengatasi persoalan krisis listrik di negara mereka.

Penurunan HBA, yang pertama kali dalam enam bulan terakhir. Pada bulan Januari 2022, HBA ditetapkan sebesar US$158,50/ton, naik ke US$188,38/ton di Februari. Selanjutnya bulan Maret menyentuh angka US$203,69/ton, April sebesar US$288,40/ton, bulan Mei berada di level US$275,64/ton, dan terakhir pada bulan Juni, yaitu US$323,91/Ton per ton.

HBA sendiri merupakan harga yang diperoleh dari rata-rata indeks Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt’s 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6322 kcal/kg GAR, Total Moisture 8%, Total Sulphur 0,8%, dan Ash 15%.

Terdapat dua faktor turunan yang memengaruhi pergerakan HBA yaitu, supply dan demand. Pada faktor turunan supply dipengaruhi oleh season (cuaca), teknis tambang, kebijakan negara supplier, hingga teknis di supply chain seperti kereta, tongkang, maupun loading terminal.

Sementara untuk faktor turunan demand dipengaruhi oleh kebutuhan listrik yang turun berkorelasi dengan kondisi industri, kebijakan impor, dan kompetisi dengan komoditas energi lain, seperti LNG, nuklir, dan hidro. (RI)