JAKARTA – Industri hulu migas di Indonesia tidak hanya dihadapkan pada masalah penurunan alamiah produksi akan tetapi juga dihadapkan pada praktek pengeboran minyak ilegal, baik di luar atau di dalam wilayah operasi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Berdasarkan catatan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), jumlah aksi pengeboran minyak ilegal mencapai 137 kegiatan pada 2018.

Angka kasus tersebut meningkat menjadi 195 kegiatan pada 2019. Sementara, pada 2020, angkanya naik 119 kasus menjadi 314 kegiatan illegal drilling. Titik utama pengeboran ilegal tersebar di delapan provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Utara (Sumut), Riau, Kalimantan Timur (Kaltim), Jambi, Sumatera Selatan (Sumsel), Jawa Tengah (Jateng), dan Jawa Timur (Jatim).

Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) hingga kini tercatat ada sekitar 4.500 sumur ilegal di Indonesia. Pemerintah juga sempat mencatat bahwa potensi kehilangan produksi akibat diproduksi secara ilegal sehingga tidak tercatat di negara volumenya bisa mencapai 10 ribu barel per hari (BPH).

Pada bulan lalu masih segar diingatan bagaimana kebakaran sumur minyak ilegal terjadi di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari. Sumur minyak tersebut mengandung gas sehingga kebakaran sulit dipadamkan selama dua pekan. Akibat peristiwa ini, hutan di Desa Bungku seluas 2,5 hektare (ha) habis dilalap api.

Kemudian kebakaran juga terjadi akibat illegal drilling yang terjadi di Desa Kaban 1, Kecamatan Sanga Desa, Kabupaten Muba, Sumatera Selatan pada pekan kedua bulan Oktober. Polda Sumsel kala itu menurunkan tim untuk memadamkan api di tiga titik kebakaran. Adapun lokasi kebakaran itu berada jauh dari tempat penertiban 1.000 sumur minyak ilegal di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Muba.

Kegiatan pengboran migas ilegal harus dilarang karena selain melanggar hukum tapi ada konsekuensi lain yang lebih besar akibatnya yakni mencemari lingkungan, mengganggu kegiatan operasi KKKS dan tidak mendukung iklim investasi, telah menimbulkan korban jiwa, hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Julius Wiratno, Deputi Operasi SKK Migas, mengungkapkan saat ini pemerintah tengah mengkaji perubahan regulasi yang diharapkan bisa menjadi jalan untuk menekan dan tidak menutup kemungkinan bisa berantas pengeboran sumur minyak ilegal. Pembicaraan revisi Permen ESDM No 1 Tahun 2008 tentang pengusahaan sumur tua sudah dilakukan dengan melibatkan berbagai stakeholder utamanya dengan pemerintah daerah.

“Sekarang dalam penanganan melibatkan banyak pihak Pemprov, Pemkab kita usahakan merevisi Permen usulkan juga kajian study bagaimana tangani ilegal drilling,” kata Julius dalam konferensi pers virtual belum lama ini.

Julius menuturkan akan ada dua provinsi yang akan jadi wilayah uji coba pemberlakukan Permen baru tersebut yakni di Jambi dan Sumatera Selatan.

Dia menjelaskan salah satu poin krusial yang akan diatur dalam revisi aturan tersebut adalah terkait harga jual minyak dari hasil para penambang ke Pertamina.

“Ini hal-hal yang perlu kita cover di revisi permen tadi masalah harga dari Pertmaina terlalu murah di luar lebih mahal ini yang kita coba dan lebih baik lagi sudah di FGD dengan gubernur bupati untuk bisa segera ditangani,” jelas Julius.

Aturan memang harus diperkuat. Dengan adanya payung hukum yang kuat maka aparat penegak hukum bisa bergerak dengan lebih leluasa.

“Kita sudah tutup ratusan sumur juga tapi seperti itulah muncul lagi saat harga minyak naik, marak lagi. Dengan payung hukum bantuan aparat penegak hukum. akan kita berdayakan KUD dan BUMD untuk bisa terlibat aktif,” ungkap Julius.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Insntitute, menyatakan bahwa keberadaan aktifitas pengeboran sumur ilegal tentu berdampak juga kepada iklim investasi hulu migas yang saat ini tengah dibangun pemerintah.

“Tentu akan memberikan dampak pada iklim investasi. Ini bagian risiko yang membuat investor akan berfikir ulang untuk melakukan investasi,” ungkap Komaidi kepada Dunia Energi (28/10).

Dia mengakui kasus pengeboran sumur minyak ilegal terus menerus berulang lantaran regulasi yang belum begitu kuat. Dia menyarankan dalam regulasi seharusnya disebutkan juga peran serta keterlibatan pemerintah dan aparatur daerah secara jelas.

Komaidi menilai keterlibatan pemerintah daerah dalam memberantas pengeboran minyak ilegal sangat wajar lantaran selama ini daerah juga telah menikmati manfaat positif dari kegiatan industri migas yang resmi.

“Saya kira perlu ada regulasi yang memberikan tanggungjawab dan melibatkan aparatur di daerah. Bagaimanapun daerah juga telah mendapat manfaat positif dari dana DBH Migas dan program CSR Industri migas. Sehingga memang sudah selayaknya ikut berkontribusi,” jelas Komaidi.

Sementara itu, Ahmad Redi, Pakar Hukum Pertambangan, menyatakan masalah hukum ilegal tapping dan ilegal driling ini lebih ke aspek pengawasan dan penegakan hukum. Jadi tinggal konsistensi pemerintah dalam menjalankan regulasi yang diperlukan.

Upaya pencegahan ini sebenarnya harus diutamakan. Menurut Redi dengan upaya preventif berupa pengawasan terhadap seluruh perbuatan ilegal driling dan ilegal tapping masih belum optimal.

“Pengawasan yang dilakukan baik oleh perusahaan maupun penegak hukum menjadi pilar penting agar tindakan ilegal ini bisa dicegah,” tegas Redi.

Sinergi Lintas Sektor

Pemberantasan pengeboran sumur minyak ilegal memang tidak bisa dikerjakan oleh salah satu instansi saja. Diperlukan sinergi lintas kementerian maupun lembaga yang sudah terlebih dulu memiliki kesamaan visi dalam pemberantasan tindakan yang merugikan bagi negara, masyarakat dan lingkungan tersebut.

Andhi Nirwanto, Penasihat Ahli Kepala SKK Migas menegaskan bahwa pihaknya segera mencari solusi penanganan illegal drilling yang berpotensi mempercepat habisnya sumber daya alam (SDA) migas.
Andhi mengusulkan pembentukan tim satuan tugas (satgas) untuk menangani illegal drilling pada wilayah yang akan ditetapkan sebagai lokasi kegiatan percontohan atau pilot project.

Nantinya, tim satgas akan dibentuk di wilayah-wilayah kerja migas lainnya. “Dari law enforcement atau penegakan hukum, sudah ada aturannya. Kalau sudah dilakukan sosialisasi tapi masih juga dilakukan, harus ada penegakan hukum,” jelas Andhi.

A Rinto Pudyantoro, Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, menyatakan ada sejumlah rekomendasi dari SKK Migas yang dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka menangani pemboran sumur ilegal diantaranya pembentukan Tim Gabungan Antar Instansi terkait yang dikoordinir oleh Kemenko Polhukam untuk melakukan penghentian kegiatan sumur ilegal dan mengatur Tata Kelola Pengusahaan bekas Sumur Ilegal.

“Serta melaksanakan moratorium untuk pendataan jumlah dan potensi Produksi sumur ilegal terutama yang di luar WK KKKS,” ungkap Rinto.

Tidak hanya dari sisi hulu, sisi hilir bisnis minyak ilegal ini juga perlu diberikan perhatian serius. Bisnis Hilir Ilegal seperti pengangkutan, penampungan, dan penyulingan minyak ilegal harus dilarang.

Lokasi yang sudah ada sumur ilegal dikelola oleh PEMDA melalui BUMD sebagai koordinator bekerja sama dengan masyarakat setempat.

“Lokasi sumur ilegal di luar WK permintaan persetujuan diajukan oleh BUMD melalui PEMDA ke Kementerian ESDM dan untuk lokasi sumur ilegal di dalam WK permintaan persetujuan diajukan oleh BUMD melalui KKKS-SKK Migas ke Kementerian ESDM,” jelas Rinto.

Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah edukasi kepada masyarakat harus terus digalakan tentang bahaya terlibat dalam pengeboran sumur minyak ilegal. “Khususnya yang terkait dengan kerusakan lingkungan dan aspek keselamatan kerja,” ujar Rinto.