JAKARTA– Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali rencana pencabutan kebijakan kewajiban memasok untuk kepentingan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) untuk batubara dan menggantinya dengan harga internasional sebagaimana harga batubara untuk ekspor.

Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI, mengatakan penolakan itu didasari atas kekhawatiran kebijakan tersebut akan membuat kondisi finansial PT PLN (Persero) memburuk.

“Jangan sampai formulasi ini ending-nya memberatkan finansial PT PLN, dan kemudian berdampak buruk pada pelayanan dan keandalan PT PLN kepada konsumen listrik,” ujar Tulus dalam keterangan kepada Dunia-Energi, Sabtu (28/7).

Menurut Tulus, rencana tersebut sebagai sebuah kemunduran lantaran selama ini harga DMO batubara ditetapkan pemerintah, sebesar US$70 per metrik ton dan bukan berdasarkan harga internasional.

Jika wacana tersebut diterapkan, Tulus menilai pemerintah lebih pro kepada kepentingan pengusaha batubara daripada kepentingan masyarakat luas yakni konsumen listrik. Padahal batubara DMO selama ini digunakan untuk memasok pembangkit PLN.

“Wacana tersebut pada akhirnya akan menjadi skenario secara sistematis untuk menaikkan tarif listrik pada konsumen,” katanya.

Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI. (foto: Poros Jakarta.com)

Di sisi lain, Tulus juga mengkritisi rencana pemerintah untuk meminta industri batubara membayar iuran dengan jumlah dana tertentu–sebagaimana dilakukan pada industri sawit.
Menurut dia, formulasi tersebut tidaklah elegan, bahkan cenderung merendahkan martabat PLN sebagai BUMN dengan aset terbesar di negeri ini.

“Bagaimana tidak merendahkan martabat dan derajat PLN , jika eksistensi dan cash flow PLN harus bergantung pada dana iuran/saweran industri batubara,” ujarnya.

Menurut Tulus, formula itu tidak ideal dan tidak jelas. Kepentingan nasional tidak bisa direduksi dan tidak boleh tunduk demi kerakusan kepentingan pasar. “Kami mendesak pembatalan wacana tersebut, demi kepentingan yang lebih besar dan lebih luas, yakni masyarakat/konsumen listrik di Indonesia,” katanya. (DR)