JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) menjadi salah satu dari 248 RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional Jangka Menengah (2020-2024). Beragam kontroversi pada pembentukan beberapa undang-undang terakhir, baik secara substansi maupun prosedural, dinilai menunjukkan bahwa DPR perlu berbenah dalam proses legislasi.

Sementara itu, masyarakat sipil juga perlu melakukan pengawalan, pendampingan, dan pengawasan terhadap pembentuk undang-undang.

Arbain Al Banjary, Peneliti Indonesia Parliamentary Center, mengatakan  penuntasan RUU EBT adalah salah satu jawaban atas masalah defisit energi yang pada 2040 diperkirakan mencapai US$80 miliar.

“Karena itu, sejumlah kalangan meminta
agar RUU EBT segera dituntaskan,” kata Arbain dalam diskusi virtual, Rabu (23/12).

Arbain mengatakan, RUU EBT merupakan salah satu instrumen hukum untuk menjawab komitmen Indonesia pada kehidupan yang lebih baik terkait energi dan lingkungan.

“Sebagai bagian dari komunitas global, ujian pertama kita adalah berdiri dengan elegan dalam bahasa yang sama dengan penghuni negara lain,” kata dia.

Menurut Arbain, pada dua dekade terakhir muncul kesadaran apa yang disebut sebagai anthropocene dimana proses geologi sekarang ini didominasi oleh manusia. Dalam hal ini, manusia dituntut menggeser paradigma, memberikan penghormatan, keprihatinan, dan tanggung jawab moral dengan komponen lain. Bukan
untuk keberlanjutan manusia semata,
tetapi untuk kehidupan bersama.

Secara filosofis, enviromental ethics
semacam ini menjadi bahasa yang
diperbincangkan dalam United Nations
Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC) 1992, Protokol Kyoto
1997, dan Perjanjian Paris 2015. Indonesia sendiri secara resmi mengambil bagian pada misi baru masyarakat dunia ini melalui ratifikasi Perjanjian Paris. Salah satu upaya menuju cita-cita itu adalah menuntaskan RUU EBT.

“Dengan begitu, kita bisa berdiri setara
dengan sembilan negara di Asia Pasifik
yang sudah memiliki undang-undang khusus terkait energi baru dan terbarukan ini,” ujar Arbain.

Terkait dengan penyerapan tenaga kerja studi IRENA (2016) menunjukkan bahwa dengan skenario business as usual atau tidak adanya target peningkatan pemanfaatan EBT, maka jumlah tenaga kerja di sektor EBT ini berada sekitar di angka 13,5 juta jiwa pada 2030 dengan status pads 2014 sebesar 9,2 juta jiwa tenaga kerja. Sementara itu, apabila mengikuti skenario peta energi terbarukan (Renewable Energy Map/REmap) dengan melakukan peningkatan bauran EBT dua kali lipat pada 2030, maka diprediksikan sektor ini akan menyerap baik langsung maupun tidak langsung tenaga kerja sebesar 24,4 juta jiwa.

Saat ini, RUU EBT masuk pada tahap
penyusunan Naskah Akademik (NA) dan Rancangan Undang-Undang.

Menurut Arbain, tantangan utama pada tahap ini adalah menghasilkan NA dan RUU yang berkualitas dengan ketepatan pada asas-asas formil dan materil. Pengalaman RUU Cipta Kerja menunjukkan bahwa di tahap penyusunan inilah, awal masalah terjadi karena tidak imbangnya komposisi anggota Satuan Tugas UU Cipta Kerja antara pengusaha dan buruh.

Untuk RUU EBT, dari laman BK DPR
RI disebutkan bahwa RUU EBT ditulis oleh tujuh Perancang PUU (Perancangan Undang-Undang) BK DPR
yaitu Arif Usman, Wiwin Sri
Rahyani, Laksmi Harundani, Febri Liany, Zulfan Andriansyah, Olsen Peranto, dan Muhammad Yusuf.

Di laman tersebut, tertera NA dan draf
RUU EBT. Naskah itu merupakan rancangan BKD untuk Komisi VII yang selanjutnya dibahas bersama antara dua pihak.

Arbain menerangkan, pada aspek substansi DPR perlu menghadirkan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisik, Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Asosiasi Program Studi Teknik Geologi Indonesia, dan sejenisnya. Hal ini
terkait kekhawatiran terhadap pembangunan energi nuklir.

“Terhadap isu yang kontroversial seperti, DPR perlu menghadirkan pihak yang pro dan kontra secara berimbang untuk mendapatkan pemahaman substantif
secara mendalam,” tandas Arbain.(RA)