JAKARTA – Abu hasil pembakaran batu bara dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) atau Fly Ash Bottom Ash (FABA) sebelumnya merupakan bagian dari limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dimana pengolahannya juga membutuhkan biaya. Namun baru-baru ini pemerintah telah menghapuskan FABA dari daftar B3, sehingga seharusnya ada pengurangan biaya. Apalagi FABA yang tidak lagi menjadi B3 justru diklaim bisa diolah sehingga ada nilai tambah. Hanya saja alih-alih ada penurunan tarif listrik, pemerintah menilai tidak dikelolanya lagi FABA hanya akan berdampak pada biaya pokok produksi, tidak bisa sampai menurunkan tarif listrik.

Rida Mulyana, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, mengatakan dicoretnya FABA dari daftar limbah B3 akan mengurangi beban biaya pengelolaan dan pengangkutan produsen listrik, sehingga BPP listrik pun berkurang. Namun, hal itu tidak serta-merta menurunkan tarif tenaga listrik di tingkat konsumen.

“Dengan sendirinya biaya (BPP) menjadi berkurang dengan dikeluarkannya FABA dari limbah B3. Artinya secara overall operating maintenance akan turun. Tapi kalau dampak ke tarif listrik kayaknya terlalu jauh,” kata Rida dalam konferensi pers, Senin (15/3).

Selain itu, keuntungan lain yang bisa didapatkan dari aturan ini, yaitu limbah FABA PLTU yang selama ini tidak bisa dimanfaatkan, kini bakal menjadi berkah. Sebab, abu yang dihasilkan bisa digunakan untuk bahan baku konstruksi seperti batako, paving block, hingga semen.

“Manfaatnya itu yang tadinya burden, jadi berkah karena bisa dimanfaatkan dengan lebih mudah. (Manfaatnya) Tidak harus ujungnya (menurunkan) tarif tenaga listrik,” ujar Rida.

Pengelolaan FABA baru 9,7 juta ton atau 10% dari kebutuhan batu bara PLTU yang mencapai 97 juta ton sepanjang 2019. Karena itu, dengan dikeluarkannya FABA PLTU dari limbah B3, pemanfaatannya bisa mencapai 15,3 juta ton seiring dengan konsumsi batu bara untuk PLTU yang masih tinggi karena ada proyek pembangkit 35 ribu megawatt (MW).

“Seusai RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) proyeksi batu bara 530 juta. FABA-nya bisa 15,3 juta ton. Artinya, ini potensi untuk bisa dikelola memang banyak,” kata Rida.

Pemerintah selama ini sudah melakukan uji coba baik di laboratorium maupun melalui evaluasi yang dilakukan LIPI maupun Universitas terkemuka. Dari uji lab tersebut, FABA memiliki tingkat toxic yang rendah.

“Dengan hasil ini, bukan hanya ikut-ikutan negara lain, tapi memang ini hasil lab. FABA PLTU itu bukan lagi daftar bagian dari B3,” kata Rida.

Lana Saria, Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, menambahkan keluarnya FABA dari limbah B3 bukan berarti mengabaikan pengawasan pemerintah dalam pengelolaan limbah. Nantinya para IPP maupun perusahaan tambang yang akan mengelola FABA nya juga perlu melakukan revisi izin dokumen lingkungan.

“Meskipun keluar maka bukan berarti tidak diawasi. Tetap akan dikawal, kalau FABA yang dimanfaatkan tadi bisa berasal pembakaran PLTU bukan dari broiller. Perencanaan pemanfaatan juga harus masuk ke dokumen lingkungan. Misalnya, setelah ini FABA akan digunakan, maka perlu ada proses dokumen lingkungan direvisi,” kata Lana.(RI)