JAKARTA – Studi pasar yang dilakukan Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukkan minat masyarakat menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap terbilang tinggi, dan mereka mengharapkan kebijakan yang mempermudah perizinan dan proses instalasi serta keekonomian yang memadai.

IESR memandang revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang sesuai dengan ekspektasi bakal pengguna PLTS atap akan membantu pemerintah mencapai target bauran energi terbarukan 23% pada 2025 dan meraup dampak ekonomi, sosial dan lingkungan yang besar.

Fabby Tumiwa, Eksekutif Direktur IESR, mengatakan ada upaya perbaikan keekonomian PLTS yang lebih baik dengan ketentuan tarif net-metering 1:1 dari semula 1:6.5. Dengan tarif net-metering 1:1, maka waktu pengembalian investasi PLTS Atap pun dapat dipangkas dari 10 tahun menjadi kurang dari delapan tahun. “Ketentuan ini akan mempengaruhi pemasukan (revenue) PT PLN (Persero) tapi tidak signifikan dibandingkan dengan dampak ekonomi, lingkungan dan sosial dari berkembangnya PLTS atap,” kata Fabby, Rabu (28/7).

Simulasi IESR menunjukkan bahwa bila terdapat total instalasi 1 GWp PLTS atap, pemasukan PLN hanya akan berkurang 0,58% dengan tarif net-metering 1:1 dan 0,52% dengan tarif 1:0,65. Sebaliknya PLN akan diuntungkan. Dengan bertambahnya PLTS atap, PLN tidak perlu berinvestasi lebih besar untuk pembangkit energi terbarukan baru guna mengejar target RUEN dan mengurangi beban operasional pembangkit listrik tenaga gas untuk suplai di siang hari – sehingga mengurangi biaya bahan bakar.
Penggunaan listrik dari PLTS atap di pelanggan industri juga akan mengurangi beban subsidi pemerintah.

“Saat ini, PLN mengeluarkan biaya pokok pembangkitan Rp 1.028/kWh. Sementara tarif industri yang disubsidi sebesar Rp 972/kWh. Penggunaan PLTS atap di industri akan mensubstitusi permintaan listrik dari PLN sehingga beban untuk mensubsidi pelanggan industri juga berkurang,” ujar Fabby.

Meski belum disahkan, Fabby, yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mengapresiasi perbaikan tersebut dan memandangnya sebagai angin segar untuk mendorong berkembangnya pasar dan pengembangan industri PLTS di dalam negeri.

“Selama ini industri PLTS dalam negeri tidak berkembang karena pasarnya masih kecil, sekitar 20-30 MW/tahun sehingga masih bergantung pada impor. Jika Indonesia mampu mencapai 1-5 GW/tahun maka akan mampu menarik investasi di rantai pasok komponen PLTS, artinya ada ndustri baru yang menyerap tenaga kerja,” kata dia.

Instalasi kumulatif 1 GWp PLTS atap dapat menyerap tenaga kerja langsung 20.000 – 30.000 orang per tahun (angka konservatif) serta menurunkan emisi GRK hingga 1,05 juta ton per tahun. Pengembangan PLTS atap ini akan berguna bagi pemerintah Indonesia dalam memulihkan ekonomi pasca Covid-19.

Pada 2021 ini pula, masa garansi paket Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) untuk tahun program 2018 akan habis. Program pra-elektrifikasi ini menjadi bagian perhitungan rasio elektrifikasi nasional, sehingga pemerintah perlu segera melanjutkan upaya penyediaan akses energinya, misalnya dengan penggunaan PLTS atap dengan minimum kapasitas 0,5 kWp sampai 1 kWp – yang bisa digunakan untuk kegiatan produktif masyarakat.

Fabby menambahkan, kajian USAID untuk Kementerian ESDM juga menemukan dampak ekonomi yang besar mencapai US$18 juta dalam setiap instalasi 2.000 PLTS atap untuk kapasitas rata-rata 4,5-5 kWp. Secara nasional, hal ini akan menggerakkan kembali kondisi perekonomian lesu.

Kementerian ESDM kabarnya juga telah mengusulkan PLTS atap menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan target 3.6 GW di tahun 2025. Dengan demikian, revisi Permen No.49/2018 sangat menentukan untuk mendukung pencapaian target tersebut. “Manfaatnya jauh lebih besar kepada masyarakat dibanding potensi hilangnya pendapatan PLN,” kata Fabby.(RA)