JAKARTA- Pemerintah diminta untuk belajar dari sejarah dan menyerahkan kompetensi pengembangan panas bumi pada perusahaan yang memiliki kapabilitas dan kapasitas di sektor hulu. Apalagi selain penuh risiko, pengembangan panas bumi juga dan membutuhkan dana besar.

“Lihat saja berapa dana yang dialokasikan Pertamina untuk mengembangkan panas bumi. Hasilnya kan juga lama,” kata Suryadharma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) kepada Dunia Energi, Jumat (16/9).

Pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mendorong PT PLN (Persero) mengakuisisi sebagian saham PT Pertamina Geothermal Energy, anak usaha PT Pertamina (Persero). Selain itu, PLN juga dikabarkan tengah mengincar aset panas bumi Chevron Indonesia Company.

Menurut Suryadharma, PLN seharusnya fokus untuk membangun pembangkit listrik proyek 35 GW. Kebutuhan dana untuk merealisasikan proyek 35 GW juga cukup besar.  “Jadi PLN harusnya fokus saja di sisi hilir,” tukas dia.

PLN, lanjut Suryadharma, sejak dulu telah diberikan hak mengelola panas bumi, tetapi tidak ada yang berjalan baik. Bahkan, wacana pembentukan perusahaan joint venture panas bumi Pertamina-PLN juga sudah bergulir sejak akhir 1990-an. Wacana tersebut kemudian dimanifestasikan melalui Geodipa yang sekarang langkahnya terseok-seok.

“Indonesia kadang-kadang menjalankan bisnis yang aneh. Konon lagi sekarang PLN dipaksa mengakuisisi PGE yang sudah sangat sehat sebagai perusahaan energi. Bisa-bisa kemudian pengembangan panas bumi balik ke titik nadir,” tandas Suryadharma.(RA)