JAKARTA – Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menilai subsidi untuk pengembangan energi baru terbarukan (EBT) merupakan solusi jangka pendek agar ada mekanisme mengisi gap harga produksi dan harga yang harus diperoleh masyarakat.

Sampai sekarang harga energi yang dihasilkan EBT masih berada diatas harga yang harus dijangkau masyarakat tanpa memperhatikan biaya produksinya. Hal ini merupakan salah satu kendala yang dihadapi dalam pengembangan EBT.

“Pada dasarnya, pengembangan energi dilakukan oleh badan usaha jika memberikan kepastian bahwa pengembalian modal akan dapat terjadi jika harga energi memiliki keekonomian yang memadai. Akibatnya, ada selisih antara harga yang diproduksikan dengan harga yang dijual kepada masyarakat,” ungkap Surya Dharma, Ketua Umum METI, kepada Dunia Energi, Selasa (25/10).

Listrik tenaga air (mikrohidro) salah satu potensi energi baru terbarukan yang bisa dikembangkan pengusaha kecil maupun koperasi di daerah.

Menurut Suryadharma,  perlu dipikirkan pola insentif untuk menutup selisih biaya tersebut. Seringkali dalam bahasa awam disebut dengan subsidi.

“Dalam konteks ini, maka usulan agar diberikan subsidi agar EBT termanfaatkan adalah hal yang sangat pantas agar ada fair treatment dengan BBM lainnya.  Hanya saja kalimat subsidi disikapi dengan  negatif oleh berbagai pihak, termasuk oleh komisi anggaran DPR dan mungkin juga dari masyarakat awam lainnya,” ungkap dia.

Suryadharma menuturkan hingga kini kendala-kendala lainnya yang ditemui dalam pengembangan EBT adalah birokrasi yang panjang, perizinan yang berlarut-berlarut, penguasaan teknologi yang terbatas, kapasitas SDM yang belum memadai, daya tarik bisnis yang sangat kurang, dan aspek legal lainnya.

“Kami mengusulkan perlu ada komitmen yang konkret dari pemerintah dan parlemen serta para politisi untuk meningkatkan EBT dan memberikan prioritas pengembangannya,” tandas Suryadharma.(RA)