JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menilai rencana masuknya PT PLN (Persero) ke dalam PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina (Persero) melalui penyertaan modal akan membuat posisi pengembang dan pembeli atau offtaker listrik menjadi rancu.

“Seharusnya, dalam hal ini tidak confuse soal mana player atau pengembang, dan mana yang buyer,” kata Yunus Saefulhak, Direktur Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Menurut Yunus, bisnis Pertamina yang kuat di eksplorasi sangat mendukung bisnis PGE dalam pengembangan energi panas bumi, sehingga sudah biasa menghadapi risiko tinggi. Seiring dengan rencana Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk memasukkan PLN dan menguasai 50% saham PGE, yang perlu dicermati posisi PGE nantinya.

“Apakah nanti setelah PLN masuk, PGE akan tetap terjadi seperti sekarang? Inilah yang menjadi perdebatan,” kata dia.

Ali Mundakir, Direktur Operasional PGE, mengatakan demi mengejar target pemanfaatan energi panas bumi sebesar 7.241 megawatt (MW) pada 2025 dan 17 ribu MW pada 2030, maka pemerintah harus tetap mempertahankan keberadaan BUMN pengembang.

“Lebih baik masing-masing pihak berjalan seiring, PLN mengembangkan geothermalnya sendiri, PGE kembangkan sendiri, begitu juga dengan Geo Dipa. Kalau ada tiga striker, kan lebih produktif. Sangat efektif untuk kejar target ambisius pemerintah,” ungkap dia.

Kementerian BUMN sebelumnya menyebutkan akan menjadi PGE sebagai induk usaha dari BUMN lainnya yang menggarap proyek panas bumi. Untuk itu, PGE akan diperkuat, salah satunya melalui suntikan dana dari PLN. Selain itu, masuk PLN menjadi salah satu pemegang saham PGE diharapkan akan memudahkan dalam soal harga jual listrik Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).(RA)