JAKARTA – Pendistribusian gas masih menemui berbagai masalah dan tantangan. Kondisi tersebut tidak lepas dari kontrak jual beli gas yang dinilai belum memiliki kepastian. Ketidakpastian kontrak menimbulkan ketidakpastian permintaan gas dan pembangunan infrastruktur. Apalagi skema bisnis gas berbeda dengan minyak. Gas baru dikembangkan ketika infrastruktur serta demand sudah tersedia.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan bentuk kontrak yang sekarang dianut justru menimbulkan ketidakpastian dengan adanya celah untuk merubah suatu kondisi ditengah kontrak.

Arcandra Tahar, Wamen ESDM saat pembukaan The2th International Indonesia Gas Infrastructure Conference and Exbihition di Jakarta, Selasa (25/9).

“The uncertainty of demand didukung oleh cara kita memecahkan kontrak. Lihat kontraknya, biasanya menggunakan kata “dapat”. Ini bisa diartikan iya atau tidak. Kata dapat itu jalan keluar untuk membuat kontrak bisa jalan atau tidak tergantung kita melihatnya. Lalu apa solusinya? Bagaimana membangun infrastruktur kalau kontraknya sengaja dibikin loophole,” kata Arcandra pada pembukaan Indopipe 2018 di Jakarta, Selasa (25/9).

Menurut Arcandra, kontrak jual beli gas di Indonesia cenderung memberi ruang adanya mekanisme evaluasi harga yang sebelumnya sudah disepakati pada awal kontrak. Ruang ketidakpastian lahir dengan klausul review harga ketika terjadi gejolak harga gas di pasaran.

“Beberapa tahun kebelakang, kontrak US$6 per MMBTU kemudian hari ini produser gas punya peluang harga ditingkatkan. Harga naik ke US$ 8 per MMBTU. Kenapa bisa US$8 per MMBTU karena dikontrak memungkinkan untuk review harga,” ungkap Arcandra.

Kondisi ini yang diminta untuk dievaluasi pelaku bisnis gas di Indonesia. Lantaran kalau berbicara evaluasi, otomatis akan ada negosiasi, ujungnya pemerintah harus turun tangan. Dalam setiap negosiasi pasti akan ada tarik ulur untuk mencari keputusan yang menyenangkan bagi kedua pihak. Hal tersebut bakal sulit diwujudkan.

Arcandra mengatakan harus ada mekanisme yang pasti dan bisa mengakomodir kondisi harga gas yang fluktuatif. Tidak perlu lagi ada kondisi dimana dua perusahaan harus berhadapan untuk menentukan harga ditengah kontrak yang sedang berjalan.

“Jadi pekerjaan rumahnya price review, menguntungkan atau tidak, tolong ini dievaluasi. Waktu harga rendah off taker bilang di evaluasi, kalau harga tinggi produser yang minta. Jadi tolong dievaluasi ada cara yang sudah diterapkan di kontrak bagaimana kalau harga naik atau harga turun buat perjanjian yang disepakati kedua pihak,” ungkap dia.

Gigih Prakoso, Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara Tbk mengakui kontrak yang ada sekarang memungkinkan evaluasi kerap melahirkan dispute. Himbauan pemerintah untuk mengevaluasi klausul kontrak-kontrak gas ke depan untuk meminimalisir masalah patut diapresiasi.

“Jadi mungkin perlu didetailkan. Ada mekanisme bagaimana menetapkan harga gas disaat kondisi tertentu terjadi jadi tidak lagi terjadi dispute,” tandas Gigih.(RI)