JAKARTA – Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) menyatakan akan terus berjuang menjaga kelangsungan bisnis PT Pertamina (Persero) dan keadulatan energi nasional untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berbagai upaya telah dilakukan sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di negeri ini.

Salah satu bentuk perjuangan dan juga kontribusi FSPPB, yaitu dengan melakukan class action termasuk permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait restrukturisasi dan rencana privatisasi Pertamina.

“Semoga kami dapat menarik benan merah dan mempertimbangkan kembali Holding-Subholding dan IPO anak usaha Pertamina ini. Marilah para stakeholder saat ini mampu untuk berpikir sejenak tentang cita-cita para pendiri bangsa ketika mendirikan Pertamina. Jangan sampai lupa dan mengkhianati akan cita-cita para Founding Fathers yang telah mencetuskan konsep Pasal 33 UUD 1945,” kata Arie Gumilar, President FSPPB, dalam webinar “Kaji Ulang Holding-Subholding dan IPO Anak Usaha Inti Pertamina, Sabtu(31/7).

Pertamina adalah perusahaan minyak dan gas bumi yang dimiliki pemerintah Indonesia. Berdiri sejak 10 Desember 1957 dengan nama PT Permina, pada  1961 perusahaan ini berganti nama menjadi PN Permina dan setelah merger dengan PN Pertamin di tahun 1968 namanya berubah menjadi PN Pertamina.

Dengan bergulirnya UU No.8 Tahun 1971 sebutan perusahaan menjadi Pertamina yang terintegrasi dari hulu sampai ke hilir. Sebutan ini tetap dipakai setelah Pertamina berubah status hukumnya menjadi PT. Pertamina (Persero) pada tanggal 17 September 2003 berdasarkan UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Sejak menjadi PT Pertamina (Persero) tahun 2003 sampai sekarang Struktur Organisasi PT. Pertamina (Persero) beberapa kali mengalami perubahan.

Sebagai BUMN, Pertamina tunduk pada Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang bertujuan bukan hanya sekedar mengejar keuntungan dan memberikan sumbangan pada penerimaan negara namun BUMN adalah salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.

Perubahan Struktur Organisasi yang signifikan terjadi pada Pertengahan Tahun 2020. Lewat Salinan Keputusan Menteri BUMN nomor SK-198/MBU/06/2020, tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan Tugas dan Pengangkatan AnggotaAnggota Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina tertanggal 12 Juni 2020, pemerintah menetapkan struktur organisasi Direksi yang semula 11 orang menjadi 6 orang.

Sedangkan Direktorat Operasional yang sebelumnya ada di Pertamina masuk ke dalam beberapa subholding yang telah dibentuk, yaitu Subholding Upstream (PT Pertamina Hulu Energi), Subholding Refinery & Petrochemical (PT Kilang Pertamina Indonesia), Subholding Commercial & Trading (PT Pertamina Patra Niaga), Subholding Power & New and Renewable Energi (PT Pertamina Power Indonesia), serta Shipping Company (PT Pertamina International Shipping).

Semua subholding tersebut akan menjalankan bisnis bersama dengan Subholding Gas yang sebelumnya telah terbentuk di bawah Pertamina melalui PT Perusahaan Gas Negara Tbk sejak 2018.

Kurtubi, praktiksi migas, mengatakan  sumber dari permasalahan migas di Indonesia saat ini adalah Undang-Undang (UU) Migas Nomor 22 Tahun 2001. Dalam UU tersebut memberikan kuasa pertambangan kepada negara. UU tersebut, membuat pengelolaan migas dilakukan secara B to G (Business to Government).

“Tidak boleh pemerintah ikut campur dalam berkontrak bisnis migas, kedaulatan negara bisa tergadaikan. Pemerintah di dunia itu tidak ada yang berbisnis, tidak eligible. Sistem B to G seharusnya tidak dipakai lagi,” ujarnya.

Kurtubi menjelaskan  dalam UU Nomor 8 Tahun 1971 kuasa pertambangan ada di tangan Pertamina, skema bisnis dilakukan secara B to B (Business to Business).
Dengan kuasa pertambangan, Pertamina memiliki kuasa mengundang investor.

Menurut.dia, pemerintah seharusnya kembali ke UU tahun 1971 agar kedaulatan energi bisa tercapai. Sebab, ketika kuasa pertambangan di tangan negara, padahal negara tidak menambang sendiri, tidak menjual sendiri, maka hal itulah yang membuat kinerja migas menurun.

“Ini penyebab utama industri migas di tanah air jadi hancur, produksi minyak anjlok dari 1,5 juta barel sekarang di bawah 700 barel per hari, dulu terkenal eksportir di asia timur,” ujarnya.

Herman Khaeron, Anggota Komisi VI DPR, menambahkan terkait restrukturisasi Pertamina sudah dibahas di DPR. Dia mengakui, yang menjadi permasalahan besar adalah ketika ada rencana untuk melakukan IPO.

Menurut dia hal itu adalah dilema besar bagi direksi untuk tidak menjalankan kebijakan pemerintah.

“Dalam beberapa hal yang pernah disampaikan kepada kami, ini memberikan keyakinan, yaitu pembentukan sub holding ini lebih memberikan prospektif bagi korporasi maupun bagi masyarakat, baik melalui dividen, pajak, revenue maupun melalui retribusi lainnya,” ujarnya.

Herman mengungkapkan  hingga saat IPO hanya akan dilaksanakan untuk sektor panas bumi (geothermal), karena pengembangan yang membutuhkan modal yang besar.

“Dengan banyaknya penugasan, termasuk BBM satu harga dan lainnya, ini berat. Kecuali ada dukungan lainnya. Ini yang secara rasional bisa menangkap bahwa ada keinginan Pertamina untuk mengakselerasi,” ujarnya.

Herman mengatakan IPO akan dilakukan terhadap sektor geothermal karena resiko investasi yang sangat besar sehingga perlu ditanggung renteng secara bersama.

“Tidak ada aset yang nantinya jadi milik asing. Kami akan mendalami. Ini sebuah pilihan,” ujarnya.(RA)