JAKARTA – Pemerintah akan melakukan evaluasi praktek distribusi LPG (Liquefied Petroleum Gas) bersubsidi kemasan 3 kilogram yang diketahui banyak ditemukan di berbagai situs belanja online (e-commerce). Seiring pola distribusi tersebut maka tidak ada pengawasan terhadap penggunaan atau konsumen yang seharusnya masyarakat tidak mampu.

“Tadi sarannya kami kaji. Kami lakukan kajian evaluasi tentang distribusi tepat sasaran,” ujar Djoko Siswanto, Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Gedung DPR Jakarta, Senin (4/2).

LPG bersubsidi 3 kg sangat mudah didapat di berbagai situs belanja online dengan kisaran harga Rp175 ribu sampai dengan Rp 180 ribu per tabung. Harga tersebut sudah berikut dengan isinya.

Mas’ud Khamid, Direktur Pemasaran Retail PT Pertamina (Persero), mengatakan penjualan LPG bersubsidi secara online sebenarnya tidak dibenarkan. Pasalnya, pengawasannya menjadi sangat sulit agar penyaluran LPG bisa tepat sasaran.

Praktik penjualan LPG subsidi secara online diduga dilakukan oknum pengecer yang sudah melakukan pembelian dari pangkalan. “Nanti kami tertibkan, nanti yang jual siapa, kan pasti pengecer tuh yang jual,” ungkapnya.

Namun Mas’ud juga mengingatkan sepanjang pembelian LPG secara online dilakukan oleh masyarakat rumah tangga yang tergolong kurang mampu ataupun Usaha Kecil Menengah (UKM) maka tidak ada larangan dari praktek penjualan tersebut. “Sepanjang yang beli rumah tangga, UKM. Saya tanya UKM boleh kan beli lewat online? Ya boleh,” kata dia.

Menurut Mas’ud, Pertamina akan melakukan sosialisasi tambahan ke masyarakat, termasuk melakukan pengecekan ke lapangan di pangkalan-pangkalan mengenai transaksi penjualan LPG secara online.

“Nanti kami ajak bicara. Nanti kami lihat transaksinya, dia dominan dimana, subsidi atau nonsubsidi. Yang jelas kami jalankan aturan dulu,” paparnya.

Djoko mengatakan tantangan untuk mendistribusiakn LPG bersubsidi cukup besar. Beberapa tantangan pelaksanaannya diantaranya adalah kenyataan bahwa volume konsumsi LPG 3 kg terus meningkat seiring peningkatan permintaan masyarakat. Kemudian penerima subsidi sulit diidentifikasi, termasuk pembelian secara online tadi. Praktik opolosan dan penimbunan akibat disparitas harga LPG subsidi dan nonsubsidi.

Untuk kasus yang terakhir ini sebenarnya tidak lepas dari mekanisme penetapan harga di lapangan. Pada dasarnya pengecer bisa menentukan harga di eceran.

Pemerintah sudah menetapkan harga hanya sampai di agen, yakni sebesar Rp15 ribu-Rp 25 ribu per tabung. Namun pemerintah daerah yang menentukan harga di pangkalan. “Nah masyarakat ini banyak membeli di tingkat pengecer,” tandas Djoko.(RI)