JAKARTA – Pelaku usaha batu bara mengkhawatirkan berlakunya dua harga di pasar seiring penetapan harga batu bara untuk pembangkit listrik di dalam negeri yang ditetapkan pemerintah.
“Posisi awal kami sih mengikuti harga pasar. Jadi dualisme harga itu sebaiknya justru banyak mudaratnya,” kata Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI) di Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jakarta, Jumat (9/3).
Menurut Hendra, pelaku usaha mau tidak mau tetap harus mengikuti ketetapan dari pemerintah. Untuk itu, dalam waktu dekat para pelaku usaha juga akan melakukan pertemuan untuk membahas dampak dari kebijakan baru ini.
“Kami harus kumpul dulu para pengusaha untuk melihat kira-kira dampaknya seperti apa ke depannya,” tukas dia.
Hendra mengatakan ketetapan baru seharusnya memperhatikan kelangsungan usaha dalam jangka panjang. Apalagi ketetapan penentuan harga akan pengaruhi keuangan perusahaan yang ujungnya berpengaruh juga terhadap kemampuan perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasi, tidak hanya eksploitasi tapi juga eksplorasi dalam rangka memenuhi cadangan.
“Kami inginkan adalah penetapan kebijakan harga ini tentunya juga mempertimbangkan kelangsungan usaha dan yang paling utama adalah mengenai konservasi cadangan. Itu sih area kami,” ungkap dia.
Berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 tentang harga jual batu bara untuk penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Beleid tersebut memuat ketentuan harga jual batu bara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dalam negeri sebesar US$70 per ton untuk nilai kalori 6.322 GAR atau menggunakan Harga Batubara Acuan (HBA) apabila HBA berada di bawah US$70 per ton dimaksud.
Untuk harga batubara dengan nilai kalori lainnya, dikonversi terhadap harga batu bara pada nilai kalori 6.322 GAR tersebut berdasarkan perhitungan sesuai ketentuan yang berlaku.
Penetapan harga khusus tersebut berlaku surut sejak 1 Januari 2018 hingga Desember 2019. Artinya, kontrak-kontrak penjualan yang sudah berjalan sejak 1 Januari 2018 akan disesuaikan.
Menurut Hendra, angka US$70 per ton sebenarnya tidak sesuai denga apa yang diharapkan pelaku usaha. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor, pelaku usaha pernah mengusulkan harga tetap di angka US$85 per ton.
“Pernah waktu kami diminta pemerintah angka berapa, karena PLN juga sudah mengajukan satu angka. Dengan mempertimbangkan beberapa faktor ya angka yang kami ajukan pada saat itu US$85 per ton,” kata Hendra.(RI)
Komentar Terbaru