JAKARTA – Sektor industri menunggu realisasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 terkait Penetapan Harga Gas Bumi yang menjanjikan harga gas US$ 6 per juta british thermal unit (mmbtu). Penurunan harga gas akan mendukung pertumbuhan ekonomi 6% dan terwujudnya industrialisasi di Indonesia.

“Dengan melaksanakan Perpres 40/2016 akan ada investasi baru, perluasan menambah kapasitas produksi, peningkatan kesempatan bekerja, dan daya saing global produk-produk oleochemical lndonesia ke negara tujuan ekspor akan lebih tinggi sehingga perolehan devisa lebih besar,” ujar Rapolo Hutabarat, Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemicals Indonesia (APOLIN), saat berbicara pada diskusi “Menanti Implementasi Perpres Nomor 40 Tahun 2016 Bagi Dunia Usaha” yang diselenggarakan APOLIN dan Majalah Sawit Indonesia didukung Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), Jakarta, Rabu (19/2).

Rapolo menjelaskan oleokimia termasuk tujuh sektor industri di dalam Perpres Nomor 40/2016 yang mendapatkan ketetapan harga gas industri sebesar US$ 6/MMBTU. Ketujuh sektor industri tersebut antara lain oleokimia, pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Setiap tahun, berdasarkan data APOLIN, kebutuhan gas industri oleokimia mencapai 11,7 juta-13,9 juta per MMBTU dari 11 perusahaan anggota APOLIN. Saat ini, industri oleokimia harus membayar harga gas industri rerata US$10-US$12 per MMBTU. Dalam struktur biaya produksi, biaya gas berkontribusi sekitar 10%-12% untuk produksi fatty acid dan sebesar 30%-38% dalam menghasilkan fatty alcohol beserta produk turunan di bawahnya.

Padahal, Perpres 40/2016 mengamanatkan harga gas industri sebesar US$ 6 per MMBTU sesuai arahan Presiden Jokowi. Jika terealisasi, akan terjadi penghematan antara US$ 47,6 juta-US$ 81,8 juta atau Rp 0,68 triliun-Rp 1,1 triliun per tahun.

“Hingga kini, perpres belum berjalan. Selama empat tahun lamanya, pelaku oleokimia menantikan regulasi bisa terlaksana dan dapat diimplementasikan, ” ujar Rapolo.

Fajar Budiono, Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas), mengatakan penurunan harga gas akan memberikan empat dampak positif yaitu biaya produksi turun, harga jual turun, memperkuat daya saing ekspor, dan daya beli masyarakat meningkat.

Menurut Fajar, saat ini industri petrokimia mesti membeli gas sebesar US$ 9,17 per MMBTU. Pada tahun ini, kebutuhan gas 24 industri petrokimia mencapai 74 BBTUD (Billion British Thermal Unit per Day).

“Pemerintah harus memahami, turunnya harga gas menggerakkan industrialisasi sehingga pertumbuhan ekonomi nasional berpeluang naik lewati 5%,” jelasnya.

Yustinus Gunawan, Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), mengatakan pelaku industri menunggu kepastian dari pemerintah untuk menurunkan harga gas yang belum terlaksana hingga sekarang. Pasalnya, investor meminta regulasi bisa dijalankan secepatnya. Penundaan Implementasi Perpres menurunkan daya saing dan kepercayaan investor

“Saya dapat informasi Presiden Jokowi akan merealisasikan penurunan harga gas industri. Harapan kami ini segera berjalan,” katanya.

Lila Harsyah Bakhtiar, Kepala Sub Direktorat Industri Hasil Perkebunan Non Pangan Kementerian Perindustrian, menjelaskan Kementerian telah meminta pelaku industri untuk memasukkan usulan harga gas dalam rangka menjalankan arahan Presiden supaya harga gas turun mulai 1 April 2020. Kementerian meminta adanya keterbukaan data/informasi (open book), kebenaran data (truth), kecepatan respons, dan saling percaya (trust) bahwa data tetap terjaga.

“Dengan harga gas saat ini memperlihatkan perlambatan pertumbuhan industri pengolahan non migas pengguna gas dan di bawah laju pertumbuhan industri pengolahan non migas secara keseluruhan,” jelasnya.

Ananda Idris, Ketua Komite Migas Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menjelaskan persoalan kesiapan produksi gas sebaiknya diperhatikan pula karena dalam beberapa tahun terakhir tidak ada eksplorasi baru. Sumur gas yang beroperasi telah berusia tua karena potensi gas belum dioptimalkan.

Kurtubi, Pengamat Energi, menuturkan pemerintah seharusnya lebih bijak dalam mengatur tata kelola gas. Karena itu, kegiatan pengelolaan migas sebaiknya satu pintu yang melalui BUMN seperti Pertamina. (DR)