JAKARTA – Debat pemilihan presiden akan kembali berlangsung akhir pekan ini, 21 Januari, dengan isu energi menjadi salah satu topik yang akan diperdebatkan. Masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Energi Terbarukan mendesak ketiga calon wakil presiden (cawapres) untuk fokus memaparkan rencana transisi energi berkeadilan yang jelas, upaya pelibatan masyarakat dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan, dan tidak hanya memunculkan jargon atau singkatan baru.

Elok F Mutia, Inisiator dari PilahPilih.id yang tergabung dalam koalisi ini mengatakan, debat capres seharusnya menjadi ajang yang membuat masyarakat lebih memahami dan mendukung proses transisi energi. Pembahasan yang berkutat pada  adu jargon, istilah dan singkatan yang rumit, dan tidak dipahami masyarakat awam justru membuat debat menjadi minim esensi.

“Isu transisi energi masing-masing pasangan calon presiden (capres), harus menjadi topik yang bisa dipahami publik karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Karena itu, menjadi penting untuk melihat apakah dalam debat nanti para cawapres akan memberikan solusi dan memunculkan gagasan kebijakan konkret yang benar-benar menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat atau hanya menambah jargon atau singkatan baru saja,” kata Mutia dalam keterangannya, Jumat (19/1).

Indonesia hampir dipastikan gagal mencapai target bauran energi terbarukan 23% pada 2025 dengan realisasi yang baru mencapai 13,1% pada akhir tahun 2023—lebih rendah dari target 17,9% sesuai data Kementerian ESDM. Dengan porsi energi terbarukan yang minim, Indonesia juga melenceng jauh dari komitmen menahan kenaikan suhu global maksimal 1,5 derajat celcius pada 2060 dalam Perjanjian Paris.

Hadi Priyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, mengatakan, lambatnya pencapaian target energi terbarukan di pemerintahan saat ini harus menjadi pembelajaran penting bagi pemerintahan selanjutnya untuk mempertegas komitmen transisi energi dan mengakselerasi pembangunan proyek energi terbarukan, terutama yang melibatkan partisipasi  publik. “Kami berharap para kandidat punya konsep yang jelas pada  proses demokratisasi energi dalam hal pelibatan masyarakat dan dorongan menyeluruh baik mekanisme insentif maupun dukungan riset dan pengembangan pada proses transisi energi. Hal ini menjadi penting agar konflik sosial dan agraria bisa dihindari dan memberi manfaat yang jauh lebih besar kepada masyarakat,” kata Hadi.

Dalam dokumen visi-misi, ketiga capres punya komitmen untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan Indonesia. Ketiganya juga menjanjikan pensiun dini PLTU secara bertahap. Strategi yang lebih rinci untuk mencapai janji-janji ini perlu jadi fokus dalam debat cawapres pada 21 Januari mendatang.

“Kandidat capres dan cawapres perlu secara jelas membuat langkah-langkah nyata untuk mengakselerasi capaian transisi energi ke sumber terbarukan agar target dalam Nationally Determined Contributions (NDC) maupun target 44% energi terbarukan di program Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia dapat tercapai dengan membuka partisipasi masyarakat, baik dalam perencanaan maupun pembangkitan, di antaranya memangkas hambatan seperti yang dilakukan oleh PLN,” ujar Suriadi Darmoko, Juru Kampanye 350 Indonesia.

Hambatan yang dimaksud Suriadi Darmoko, yaitu terkait persyaratan pemasangan PLTS atap yang tidak sejalan dengan Peraturan Menteri ESDM No 26/2021 tentang PLTS atap. Melalui memo internal, PT PLN (Persero) membatasi kapasitas PLTS atap maksimal 15% dari daya terpasang. Padahal, ketentuan ini tidak ada dalam Permen 26/2021. Kelebihan produksi listrik karena banyak PLTU beroperasi jadi penyebab dibatasinya PLTS atap.

Reka Maharwati, Koordinator Enter Nusantara, berharap capres dan cawapres mulai berani memperdebatkan sejauh mana perencanaan transisi energi bersih dan berkeadilan. Pembahasan ini dapat dimulai dari pandangan kandidat terkait pembatasan PLTS atap oleh PLN hingga desentralisasi energi berbasis komunitas atau masyarakat.

“Dari debat nanti kami akan menilai sejauh mana keberpihakan para calon. Apakah mereka berpihak pada masyarakat atau sebaliknya, mengabaikan permasalahan lingkungan dan dampak yang ada di tapak, hingga melanggengkan investasi yang berpihak pada batu bara,” ujar Reka.

Komitmen mengurangi dominasi batu bara juga dipertanyakan. Pembangunan PLTU terus berlanjut, yang akan menaikkan kapasitasnya menjadi 14,49 gigawatt (GW), dibanding rencana pensiun dini 1,63 GW dalam JETP. Strategi transisi energi seperti co-firing biomassa dan pemanfaatan teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS) di PLTU, serta proyek DME, juga melanggengkan pemanfaatan batu bara.

Sebaliknya, Indonesia setengah hati mendorong pengembangan energi terbarukan. Dipertahankannya dominasi PLTU, mempersempit ruang bagi energi terbarukan untuk masuk ke jaringan listrik. Meski menerbitkan Permen ESDM 26/2021 untuk mendorong pemasangan PLTS atap, PLN justru mempersulit implementasinya. Draft revisi aturan ini pun juga berpihak pada PLN dengan tidak lagi memperhitungkan kelebihan listrik PLTS atap yang masuk ke jaringan.

Agung Budiono, Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah mengatakan, debat kandidat dalam pilpres menjadi ajang yang bisa jadi rujukan publik untuk memahami program kerja capres-cawapres. Dengan waktu yang terbatas, kandidat pasti akan memilih isu yang mereka anggap paling penting untuk disampaikan dan dipertanyakan antarkandidat. Jadi penting bagi mereka menunjukkan keberpihakan pada energi terbarukan ketika membahas tema yang berkaitan sistem energi Indonesia.

“Kebijakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosi secara konkrit dinanti berbagai pihak pihak, visi dan kebijakan yang jelas menjadi penting untuk dinantikan oleh tiap pasang capres, para pegiat diisu ini menanti seberapa ambisius arah transisi energi di Indonesia,” kata Agung.