JAKARTA– PT Pertamina (Persero) mulai move on dalam kegiatan bisnis di sektor hilir. Kali ini, badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi itu mengembangkan bahan bakar minyak (BBM) dan LPG dengan campuran minyak sawit (crude palm oil/CPO). Pengembangan secara komersial CPO untuk BBM itu mulai digarap di Kilang Plaju di Sumatera Selatan dan ke depan akan dikembangkan di Kilang Cilacap, Jawa Tengah serta kilang Balongan, Indramayu, Jawa Barat.

“Kami membutuhkan dukungan pemerintah untuk bisa mengolah minyak sawit menjadi bahan bakar secara ekonomis,” ujar Budi Santoso Syarif, Direktur Pengolahan Pertamina di Jakarta, Kamis (27/12).

Di Kilang Plaju, Pertamina mengolah CPO jadi BBM dan LPG ramah lingkungan. Dengan pengolahan itu, perusahaan pelat merah itu menghemat US$ 160 juta yang setara dengan Rp 2,3 triliun per tahun. Penghematan tersebut terjadi karena ada impor minyak berkurang 7,36 ribu barel per hari (bph).

Adapun fasilitas di Kilang Plaju mengolah minyak sawit sejak awal Desember 2018. Kapasitasnya 20 Million Barel Steam Per Day (MBSD). Minyak sawit yang diolah di kilang tersebut telah dibersihkan terlebih dulu getah dan baunya, atau dikenal dengan nama Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO). RBDPO tersebut lalu dicampur dengan sumber bahan bakar fosil di kilang.

“Minyak sawit dan Bahan Bakar Minyak (BBM) itu kemudian dicampur dengan bahan kimia yang menghasilkan bahan bakar bensin dengan kualitas lebih tinggi karena nilai oktan mengalami peningkatan,” kata Budi.

Kilang Plaju pun menghasilkan BBM beroktan 90 yang lebih ramah lingkungan sebanyak 405 ribu barel per bulan setara 64.500 kiloliter per bulan. Selain itu, kilang menghasilkan produksi LPG ramah lingkungan sebanyak 11.000 ton per bulan.

Budi menyebutkan, ada enam manfaat penggunaan CPO sebagai bagan bakar.

Pertama, pemanfaatan sawit meningkat. Pengolahan sawit menjadi bahan bakar aka meningkatkan pemanfaatan sawit dan kesejahteraan petani sawit.

Kedua, Pertamina mampu oleh minyak sawit. Pertamina mampu mengolah minyak sawit menjadi bahan baku terbarukan (green gasoline dan green LPG).

Ketiga, tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Mengolah sawit menjadi bahan bakar memiliki TKDN yang tinggi karena sawit berasal dari dalam negeri (bukan impor).

Keempat, mengurangi defisit transaksi negara. Transaksi dalam rupiah karena sawit adalah bahan baku domestik sehingga mengurangi defisit anggaran negara.

Kelima, ketahanan energi nasional. Penggunaa minyak sawit sebagai sumber bahan bakar akan meningkatkan ketahanan energi nasional.

Keenam, penghematan konsumsi minyak mentah (crude). Pengolahan sawit akan memberi dampak berupa penurunan konsumsi minyak mentah dengan penghematan yang signifikan. (DR)