Menteri ESDM Ignasius Jonan saat pembukaan Indonesia Clean Energy Forum, di Jakarta, Kamis.

JAKARTA – Perubahan kosumsi energi dari fosil ke energi ramah lingkungan terus digaungkan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Transisi energi ini menjadi pekerjaan rumah besar yang harus disiapkan dan dilaksanakan pemerintah. Namun dalam implementasinya, transisi energi diyakini tidak akan berjalan dengan mulus lantaran berbagai tantangan yang dihadapi.

Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan selama ini pemerintah diminta mencontoh transisi energi yang sudah dilakukan negara-negara lain, terutama negara Eropa yang mampu beralih dari penggunaan energi fosil menjadi energi baru terbarukan. Padahal, transisi yang terjadi di satu negara dengan negara lain tidak bisa disamaratakan.

“Masalah ketahanan ekonomi, GDP per kapita, disparitas dan gini rasio yang tidak sama. Ini menjadi faktor kalau mau membahas transisi energi. Timbul penciptaan teknologi, tapi juga menimbulkan biaya-biaya baru,” kata Jonan disela pembukaan Indonesia Clean Energy Forum, di Jakarta, Kamis (15/11).

Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa misalnya, sudah mencanangkan target penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) mencapai 50% dari energy mix pada 2030, tapi itu pun ada tantangan besar karena ada beberapa negara yang sampai sekarang masih sangat mengandalkan penggunaan energi fosil.

“Polandia tidak akan sampai energy mix karena 60% pembangkitnya itu batu bara. Kalau mau dipaksa 50%, saya kira cost-nya luar biasa besar,” ungkap Jonan.

Menurut Jonan, pemerintah jelas mendukung transisi energi asalkan harus memenuhi prinsip atau koridor yang sudah ditetapkan pemerintah, yaitu affordable atau dapat terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.

Transisi energi juga harus memenuhi dua komponen, yakni demand dan supply. Untuk sisi demand atau permintaan energi, sepertinya sudah tidak menjadi masalah lantaran generasi sekarang sudah menjadikan EBT sebagai kebutuhan.

Namun disisi lain, supply, harus menjadi perhatian karena sampai sekarang porsi EBT masih terlalu kecil jika dibanding dengan energy mix lainnya.

Jonan mengatakan, ada satu langkah sebagai jalan pintas untuk mempercepat transisi energi, yakni menyediakan subsidi. Tapi opsi subsidi juga memiliki kendala lain, yaitu rasio elektrifikasi harus mencapai 100% terlebih dulu.

Dia pun memberikan contoh proses transisi energi yang sukses di Italia. Negara itu telah mengoperasikan pembangkit listrik tenaga minyak kelapa sawit (crude palm oil/ CPO) di Napoli. Dengan kebutuhan 125 ribu ton CPO setiap tahun dengan kapasitas pembangkit 75 megawatt (MW).

Harga listrik dari pembangkit listrik CPO hanya US$ 10 sen per kWh, namun pemerintah Italia memberikan insentif besar karena pionir dalam EBT.

Rasio elektrifikasi juga harus 100% karena kalau tidak, pasti ada yang protes. Misalnya 98,05% rasio elektrifikasi sekarang, ada 2% yang belum menikmati listrik atau sekitar 5 juta lebih.  “Kalau belum ada listrik, lalu ada insentif pasti protes besar. Ini jadi tantangan besar bagi negara kita disparitas-nya juga masih lebar,” ungkap Jonan.

Jika di Indonesia diterapkan insentif tersebut akan menjadi perdebatan panjang, baik di pemerintah maupun di DPR. “Perdebatan panjang di DPR, mau disediakan seperti apa insentif ini. Kalau besar-besaran harus disiapkan budget-nya,” kata Jonan.(RI)