JAKARTA – Batubara merupakan salah satu dari lima sektor dengan kontribusi Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tertinggi di Indonesia). Sebagai penghasil batubara ketiga terbesar di dunia dengan produksi sebesar 615 juta ton pada tahun 2022, Indonesia berhasil meraih keuntungan hingga Rp 127 triliun dari sektor mineral dan batubara (minerba) di tahun yang sama.

Sektor energi juga memiliki ketergantungan akan batubara. Pada bauran energi primer di kuartal 3 tahun 2022, penggunaan batubara meningkat hingga 43% dari 37,6% di tahun 2021 (IESR, Indonesia Energy Transition Outlook 2022 dan 2023). Meskipun Indonesia telah memiliki target bauran energi terbarukan, misalnya 23% di tahun 2025 seperti tercantum di Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), namun bauran energi terbarukan Indonesia baru mencapai sekitar 12,3% di tahun 2022 (Dirjen EBTKE, 2023) dan banyak pakar energi yang mulai mempertanyakan kesiapan untuk mencapai target 23% bauran energi terbarukan pada tahun 2025.

Lisa Tinschert, Direktur Program Energi GIZ Indonesia dan ASEAN mengatakan Indonesia telah memiliki target yang ambisius untuk mencapai 23% bauran energi terbarukan pada tahun 2025 dan Net Zero Emission pada tahun 2060. Menurutnya, sektor energi merupakan kunci dari pencapaian target ini, dan bagaimana kita fokus pada dekarbonisasi menuju sistem energi yang berkelanjutan.

Lisa juga menambahkan bahwa transisi energi tidak direncanakan di Ibukota saja, melainkan dari berbagai daerah. “Transisi energi tidak terjadi di Jakarta dan hanya direncanakan belakang meja, tapi kita perlu melihat apa yang terjadi di daerah. Karena itu diskusi ini diadakan di Kalimantan Timur, yakni salah satu daerah yang bergantung pada batubara dengan harapan pemerintah daerah bisa memberikan perspektifnya terkait potensi-potensi untuk pembangkitan energi terbarukan di masa depan, tantangan apa yang dihadapi dan solusi apa yang dibutuhkan dan dapat ditumpahkan dalam RUED dan RUEN,” ujar Lisa, dalam diskusi publik untuk memfasilitasi pembicaraan tentang konsep transisi energi yang berkeadilan dan peran Rencana Umum Energi Daerah (RUED) untuk mempercepat transisi energi di daerah penghasil batubara yang digelar Clean, Affordable and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia bersama Dewan Energi Nasional (DEN).

Rachmat Mardiana, Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika, Direktorat Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika Kementerian PPN/Bappenas menyampaikan dalam RPJMN, Indonesia telah memiliki target bauran energi terbarukan sebesar 20% di tahun 2024, dan berharap dengan adanya kolaborasi dengan RUEN, upaya untuk mencapai Net Zero Emission di tahun 2060 dapat meningkat.
“Sejalan dengan itu, harapan dari Bapak Presiden Joko Widodo bagi Indonesia menjadi negara maju sebelum tahun 2045, juga menjadi tantangan, bagaimana kita bisa melakukan proses pembangunan yang membutuhkan energi yang besar, dan di sisi lain untuk mengejar proses transisi energi. Tantangan akan meliputi sisi pendanaan, regulasi dan kelembagaan,” ujar Rachmat.

Untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan, Indonesia harus melihat transisi energi sebagai isu yang dihadapi oleh seluruh sektor, tidak hanya berhenti pada sektor energi dan di kota-kota besar saja. Perekonomian, kesejahteraan masyarakat di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), khususnya di daerah penghasil batubara dan sektor ketenagakerjaan akan menjadi beberapa sektor yang secara langsung terdampak dari transisi menuju energi bersih.

Pemerintah daerah memainkan peran penting untuk mengakselerasi transisi energi dengan mempertimbangkan kesejahteraan daerah yang akan terdampak melalui RUED. RUED adalah rencana strategis jangka panjang yang mencakup semua aspek energi di suatu daerah,
termasuk produksi, distribusi, dan konsumsi energi.

Berdasarkan hasil diskusi tersebut, diketahui bahwa pertambangan batubara menjadi sektor penyumbang PDRB terbesar di daerah penghasil batubara seperti di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.

Julius Christian, Manajer Riset Institute for Essential Services Reform (IESR), menjelaskan melalui proyeksi sektor energi jangka panjang, tertinjau bahwa kebutuhan global akan batubara akan menurun akibat transisi energi, bahkan penggunaannya dapat mencapai hingga 50% apabila diproyeksikan sesuai dengan target 1.5°C. IESR berpendapat bahwa skenario penutupan tambang batubara dengan studi kasus di Kabupaten Paser menunjukan penurunan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kalimantan Timur (Kaltim) sebesar 60%, namun penurunan terhadap Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) nasional sekitar 3%.

Pernyataan Julius diperkuat dengan Studi Long Term Energy Scenario (LTES) yang tengah dilakukan oleh Program CASE. “Berdasarkan studi LTES CASE Indonesia, kebutuhan energi di Kalimantan diproyeksikan akan meningkat sekitar dua kali lipat di tahun 2045 dibandingkan tahun 2021. Kebutuhan listrik di Kalimantan juga diproyeksikan akan meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 3,8%, paling banyak diserap oleh sektor industri, rumah tangga, dan komersial. Dengan pensiun dini PLTU secara bertahap, kebutuhan listrik ini sudah sepatutnya disuplai dengan pembangkit listrik EBT,” kata Nike Diah Agustin, Staf Program CASE, Institute for Essential Services Reform.

Agus Tampubolon, Manajer Program CASE Indonesia, Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan transisi energi adalah sebuah proses yang butuh perencanaan matang dan kolaborasi antara pemerintah pusat, provinsi, dan daerah (kabupaten). Dengan diskusi publik ini, Program CASE Indonesia ingin memfasilitasi agar pembaharuan RUED Kalimantan Timur nantinya mengakomodasi kebutuhan daerah.
“Transisi energi sangat mendesak untuk dilakukan. Seperti yang disampaikan Lisa dari GIZ Indonesia, transisi energi tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga pada skala regional. Karena itu kita perlu menyadari pembagian tugas antara pemerintah pusat dan daerah dalam mencapai transisi energi yang berkeadilan,” ujar Agus.

Rusdian Nor, Sekretaris Bappedalitbang Kabupaten Paser, menyampaikan bahwa Pemerintah Kabupaten mendesak agar dilibatkan sebagai subjek perencanaan transisi energi, bukan hanya sebagai objek dari proses menuju transisi energi.

“Diharapkan melalui diskusi publik dapat membuka wawasan lebih lagi, antara kebutuhan daerah untuk bertransisi energi dan bagaimana pemerintah pusat dapat mengikutsertakan masukan-masukan ini dengan memberikan kewenangan kepada daerah, tidak hanya pada Pemerintah Provinsi, namun juga pada Pemerintah Kabupaten dan desa yang terdampak secara langsung dari transisi energi,” ujar Agus.(RA)