JAKARTA – PT Pertamina (Persero) diminta bergerak cepat untuk menjual kelebihan kargo gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) yang tidak jadi diserap PT PLN (Persero) pada tahun ini. Pasalnya, hal tersebut berpengaruh terhadap realisasi lifting gas nasional yang turun jika dibanding 2018. Pertamina adalah pengelola Kilang BadaK LNG yang memproduksi LNG

Sukandar, Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), mengatakan Pertamina adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk bisa segera menjual sisa kargo. Pasalnya jika tidak maka produksi gas tidak akan optimal lantaran produksi LNG kilang Bontang akan dikurangi.

“Turun (lifting), karena ada LNG yang diambil Pertamina, di Kalimantan Timur mesti mengurangi produksi. Sekitar 645 juta kaki kubik per hari (MMSCFD)-670 MMSCFD ke level 500 MMSCFD, karena ada LNG yang tidak di-absorb (serap),” kata Sukandar di Kementerian ESDM Jakarta, Senin (29/7).

Pada semester I 2019, realisasi produksi LNG tercatat 114 standar kargo, lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu 139,1 standar kargo. Penyerapan LNG oleh PLN yang tidak optimal menjadi penyebab rendahnya produksi LNG. Berdasarkan catatan SKK Migas, produksi LNG, baik dari Kilang Bontang di Kalimantan Timur maupun Kilang Tangguh di Papua tercatat lebih rendah dari tahun lalu.

Produksi Kilang Bontang semester I 2019 sebesar 57,2 standar kargo, lebih rendah dibanding periode yang sama 2018 sebesar 78,3 standar kargo. Produksi LNG Kilang Tangguh hingga Juni lalu tercatat sebanyak 56,8 standar kargo, turun dibanding periode yang sama tahun lalu 60,8 standar kargo.

Realisasi penyaluran LNG ke pembeli domestik pada semester I tahun ini sebanyak 31,8 standar kargo, sebanyak 18,7 standar kargo dari Kilang Bontang dan 13,1 standar kargo dari Kilang Tangguh. Untuk realisasi ekspor LNG tercatat mencapai 82,2 standar kargo, yakni 38,6 standar kargo dari Kilang Bontang dan 43,7 standar kargo dari Kilang Tangguh.

PLN membatalkan kontrak pasokan LNG dari Kilang Bontang sebanyak 11 kargo, sehingga tahun ini hanya menyerap enam kargo. Padahal kontrak awal harusnya PLN menyerap 17 kargo. Hal ini lantaran harga LNG di pasar spot saat ini tercatat lebih murah daripada harga kontrak antara Pertamina dengan pemerintah. PLN membeli LNG tersebut melalui Pertamina.

Sukandar mengatakan penurunan produksi terjadi sepanjang Juni hingga Juli. Pertamina diharapkan bisa mengembalikan produksi secara normal memasuki semester II 2019. “Kami harapkan Agustus sudah bisa kembali (normal), tapi ada dua bulan lebih terpaksa turunkan lifting di sana,” ujarnya.

Kondisi tidak terserapnya LNG oleh PLN bukanlah tanggung jawab SKK Migas karena yang berkontrak antara pembeli dan penjual adalah Pertamina sebagai penjual dan PLN sebagai pembeli gas. Ke depan, Pertamina harus lebih optimal dalam upaya menjual LNG yang sudah diproduksikan agar lifting gas juga tidak tersendat menunggu LNG yang sudah siap dijual terserap. “Masalahnya itu tidak ada tanda tangan SKK Migas, sekarang karena itu kami minta agar Pertamina bisa menjual kargo LNG tersisa,” kata Sukandar.(RI)