raw material

Ekspor mentah bijih besi Indonesia (ilustrasi).

JAKARTA – Beberapa negara maju mulai khawatir dengan larangan ekspor raw material (produk mentah mineral tambang) yang diterapkan pemerintah. Para pengamat ekonomi yakin, Indonesia akan semakin berwibawa dan dihormati jika konsisten menerapkan kebijakan itu.

Pakar ekonomi Universitas Indonesia (UI) Firmanzah mengungkapkan, dalam Pertemuan G20 di Los Cabos, Meksiko, Juni 2012 lalu, wakil Indonesia sempat melakukan pertemuan bilateral dengan beberapa negara maju. Salah satunya dengan Jepang, yang mem-pressure (menekan, red) agar ekspor raw material Indonesia dibuka kembali.

Hal yang sama, kata Firmanzah, juga diminta oleh Presiden China, Hu Jin Tao, saat bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta, Agustus 2012 lalu. “Saya kebetulan mengikuti langsung dua pertemuan bilateral tersebut,” ujarnya dalam diskusi buku “Surviving Crisis; A Quest for Prosperity” di Jakarta, pekan lalu.

Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan ini mengaku maklum, siapa pun yang menjadi Presiden Indonesia tentu akan berhadapan dengan pressure internasional, soal larangan ekspor raw material. “Namun kita harus konsisten, berhenti jual “tanah air” (produk mentah mineral pertambangan, red). Semakin kita konsisten melakukan pembatasan itu, maka kita semakin berwibawa dan dihormati,” tandasnya.

Dekan Fakultas Ekonomi UI ini menambahkan, telah mengikuti tiga kali rapat yang diadakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, untuk membahas pembangunan smelter pengolahan mineral di dalam negeri. Tercatat sudah masuk 150 proposal pembangunan smelter, dan sedang dipilah mana yang feasible (layak, red) dari sisi lingkungan dan ketersediaan energi.

“Saat ini yang dibutuhkan Indonesia adalah Industries Policy. Bagaimana menyambut gairah pembangunan smelter di dalam negeri ini, dengan penyiapan suplai energi, daya dukung lingkungan, infrasturuktur trnsportasi, dan sebagainya,” jelas Firmanzah.

Hal senada diungkapkan Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia Tbk, Anton Gunawan. Menurutnya ekspor raw material Indonesia selama ini, dalam kondisi yang memprihatinkan. Volumenya luar biasa tinggi, namun minim dari sisi nilai tambah produk.

Pasca terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 7 tahun 2012 tentang kewajiban mengolah mineral di dalam negeri dan larangan ekspor raw material, angka ekspor “tanah air” itu berhasil ditekan. Ditambah turunnya harga komoditi akibat krisis ekonomi Eropa, volume ekspor bahan mentah tambang sepanjang Kuartal II-2012 pun menurun.

“Bagi saya itu bukan penurunan, tetapi normalisasi. Bagi saya, tingginya ekspor raw material justru berbahaya, karena diikuti dengan impor manufacturing yang juga besar. Misalnya dalam pembelian alat-alat berat untuk operasi pertambangan,” jelasnya.

Lemahkan Sektor Jasa

Anton menambahkan, tingginya ekspor raw material juga telah melemahkan sektor services (jasa, red) Indonesia. Menurutnya, sektor services di Indonesia terus mengalami defisit sejak era Orde Baru hingga sekarang. Kalau toh ada sedikit peningkatan, hanya terjadi pada jasa pengangkutan.

Ia menekankan, untuk mendorong perekonomian yang maju berbasis pertambangan, mutlak harus ada nilai tambah di dalam negeri. Industri manufaktur harus ditumbuhkan dengan pesat, untuk membawa produk-produk pertambangan Indonesia lebih ke hilir.

“Saya setuju bahwa perlu ada Industries Policy yang mendukung nilai tambah pertambangan. Hal pertama yang harus dilakukan, ialah mengubah kebijakan subsidi energi. Jangan diberikan pada tranpostasi darat yang konsumtif, namun berikanlah pada sektor yang produktif,” ujarnya.

Koordianator penulis buku Surviving Crisis; A Quest for Prosperity, Ewo Raswa menggarisbawahi, penerapan kewajiban mengolah raw material di dalam negeri yang disertai larangan ekspor, merupakan salah satu langkah berani Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. “Semakin terbukti, negara-negara maju sangat bergantung pada Indonesia,” ujarnya.

Namun ia memberikan catatan, agar pemerintah secepatnya melengkapi kebijakan itu, dengan ketersediaan infrastruktur, energi, serta insentif. Tiga hal ini merupakan stimulus investasi pembangunan smelter pengolahan mineral, benar-benar terwujud di Indonesia.

Semua itu, menurutnya sudah ada dalam perencanaan kebijakan Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. “Sayangnya pemerintah seringkali terlambat melakukan eksekusi,” tandas Ewo. (Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)