JAKARTA – Upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjaga sektor pengolaan sumber daya alam dinilai patut diberi apresiasi. Pasalnya KPK telah terbukti berhasil mencegah potensi kerugian negara dari upaya perpanjangan PKP2B menjadi IUPK yang sempat dilakukan Menteri ESDM Ignasius Jonan terhadap PT Tanito Harum, meskipun akhirnya sudah dibatalkan atas permintaan KPK kepada Presiden, karena bertentangan dengan isi dan maksud dari UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

“Sekarang KPK telah bergerak cepat membenahi potensi kebocoran di sektor hilir minerba, yaitu menelisik hasil penjualan produksi bisa menyumbang royalti dan pajak penghasilan yang maksimal bagi negara. KPK layak ditabik dua tangan dalam menjaga penerimaan negara di sektor minerba,” kata Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy Resources Indonesia (CERI) kepada Dunia Energi, Minggu (28/7).

Menurut Yusri, wajar saja kalau Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM pada 17 Juli 2019 mendadak sibuk setelah menerima surat yang sifatnya klasifikasi sangat serius dari KPK.

Pasalnya, kata dia, Moch Hendrasto, mendadak Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM, yang paling bertanggung jawab membina dan mengawasinya pada 26 Juli 2019 dengan nomor surat 998/87.03/DBB.OP/2019 telah berkirim surat dengan klasifikasi “segera” ditujukan kepada 51 pemilik PKP2B, adapun perintahnya kepada pemilik PKP2B agar mengisi aktivitas produksi batu bara dan berikut data penjualan batu bara kepada penggunanya selama periode 2017, 2018 sampai dengan akhir Juni 2019, baik yang langsung dijual kepada end buyer (pembeli sebagai pengguna akhir batu bara) maupun melalui perusahaan terafiliasi dengan produsen batu bara yang berdomisili di Singapura dan negara lainnya, semua data tersebut harus sudah terkumpul paling lambat pada 29 Juli 2019, untuk diserahkan segera kepada KPK.

Kepada 51 produsen batu bara PKP2B harus segera menyerahkan semua data-data produksi dan yang sudah dijual melalui perusahaan afiliasi di Singapura atau yang langsung ke pengguna akhir batu bara, termasuk data data kontrak, data analisa laboratorium waktu loading dan unloading, serta invoicenya, dan dari data terkumpul itu tentu akan diverikasi dengan melakukan crosscheck kepihak pihak terkait oleh tim KPK.

“Mungkin saja KPK sangat tajam penciumannya tentang adanya indikasi produsen batu bara dari kelompok PKP2B yang berjumlah sekitar 55 perusahaan diduga nakal mengakali celah kualitas batu bara yang dijual ekspor, terkait kewajiban produsen itu harus membayar royalti sebagai PNBP dan pajak penghasilan dari hasil jual batu bara kepada konsumen di luar negeri,” ujar Yusri.

Dia menambahkan, karena semua itu berpedoman pada Harga Batubara Acuan (HBA) sesuai spesifikasi yang disepakati dalam kontrak jual beli, termasuk kesepakatan nilai kalori batubara, toleransi batasan kadungan sulfur (S), kadungan debu (Ash), kadungan air (TM = Total Moisture).Harga itu akan terkoreksi berdasarkan hasil analisa laboratorium di pembeli pengguna akhir.

Menurut Yusri, KPK tentu punya dasar kuat akan adanya indikasi praktek transfer pricing dalam ekspor mineral dan batu bara yang dilakukan oleh pengusaha untuk menghindari kewajiban membayar pajak yang wajar kepada negara, sehingga ada potensi kerugian negara setiap tahunnya dari total produksi nasional.

“Oleh karena upaya KPK ini tujuannya hanya untuk menjaga kepentingan nasional dari sektor penerimaan negara agar tidak bocor,” tandas Yusri.(RA)