JAKARTA – Renegosiasi kontrak jual beli listrik dinilai wajar dilakukan antara PT PLN (Persero) dengan para pengembang pembangkit listrik atau Independent Power Producer (IPP) ditengah kondisi lesunya perekonomian akibat merebaknya virus Corona atau Covid-19 sehingga berdampak langsung terhadap konsumsi listrik.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), mengatakan pandemi Corona yang tidak diduga dan membuat pertumbuhan ekonomi anjlok. Akibatnya permintaan listrik turun drastis di bawah rencana penambahan kapasitasnya. Berdasarkan kajian apabila ekonomi tumbuh 1,5-2,3% tahun ini, estimasi pertumbuhan listrik hanya 1,2-2%. Artinya reserve margin akan membesar atau akan banyak listrik yang tidak terserap dan tingkat kapasitas pembangkit bisa menurun.

“Perlu ada renegosiasi dengan IPP khususnya yang PLTU agar Take or Pay (TOP) dihilangkan atau minimal diturunkan di 60%,” kata Fabby saat dihubungi Dunia Energi, Jumat (3/4).

Pemerintah kata Fabby juga harus bisa menjadi fasilitator yang baik dalam kondisi ini, karena bagaimanaun juga taruhannya adalah kondisi keuangan PLN. Apalagi perusahaan setrum plat merah itu akan mendapatkan tekanan hebat dari sisi keuangan setelah pemerintah memutuskan untuk membebaskan biaya listrik 24 juta pelanggan 450 VA serta diskon 50% tujuh juta pelanggan 900 VA.

“Ketentuan itu kan ada di PPA antara PLN dan IPP jadi harus dicek klausul soal force majeure dalam kontrak. Pemerintah bisa membantu fasilitasi komunikasi antara IPP dan PLN. Jika diperlukan mengeluarkan ketentuan yang mendukung kondisi force majeure,” kata Fabby.

Di sisi lain, IPP juga jangan sampai menutup diri karena saat kondisi seperti ini semua pihak harus legowo bekerja sama agar roda ekonomi tetap berjalan. PLN menjadi pihak yang paling terdampak dengan kondisi sekarang. “IPP juga perlu terbuka dengan renegosiasi PPA. kondisi saat ini cukup sulit bagi PLN kalau tidak ada solusi, kondisi finansial PLN bisa terpuruk,” katanya.

Rida Mulyana, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengakui PLN akan terdampak dari kebijakan pemerintah. Karena itu sedang didiskusikan bersama dengan PLN dan pemerintah akan menjadi penengah dengan para pengembang apakah kondisi sekarang bisa dikategorikan sebagai kondisi kahar, sehingga renegosiasi dimungkinkan.

“Ini sedang dihitung termasuk untuk PLN. PLN kan bertanggung oversupply,  jadi bagaimana ketentuan TOP-nya yang disepakati dengan IPP. TOP tadi itu sudah diantisipasi kiranya membuat oversupply dan kena TOP adakah pandemi ini akan jadi kondisi kahar dan dari situ dimungkinkan negosiasi kontrak. Ini masih dikaji,” ungkap Rida.

Menurut Rida, pemerintah juga tidak akan tinggal dan memastikan bahwa akan ada pembayaran ke PLN sebagai ganti dari insentif yang ditetapkan oleh pemerintah. PLN tetap akan mendapatkan cash atau pemasukan dari pemakaian listrik masyarakat 450 VA dan 900 VA hanya saja aliran uangnya akan sedikit terlambat.

“Tentu saja ada pengaruhnya ke PLN karena berujung ke PLN, khususnya cash flow. Kami antisipasi, yang pasti PLN tidak rugi. Jadi Rp3,5 triliun ini ditambahkan ke subisdi dua golongan. cuma kas tertunda karena harusnya masuk di Maret untuk kemudian dapat penggantian dari APBN untuk tiga bulan. Jadi dananya sudah ada, PLN tidak rugi, dijamin, tapi keterlambatan pembayaran,” kata Rida.(RI)