JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memastikan siap untuk ikut mendorong penurunan harga gas salah satu opsi skenario yang tengah dikaji adalah penurunan harga dari sisi hulu atau produsen gasnya. Industri yang menikmati harga gas nantinya diharapkan benar-benar memberikan manfaat bagi perekonomian.

Syarif Maulana Chaniago, Senior Manager Monetisasi Gas Pipa SKK Migas, mengungkapkan tidak semua industri bisa menikmati harga gas yang sesuai dengan amanat presiden yakni US$ 6 per MMBTU. Kementerian Perindustrian harus selektif menentukan‎ industri yang berhak mendapat penurunan harga gas.

“Yang harus jadi kita pertimbangkan adalah bagaimana agar penurunan harga gas kini sendiri tepat sasaran jangan main sapu jagad,” kata Syarif, di Jakarta, Selasa (18/2).

Sejauh ini, berdasarkan Perpres 40 tahun 2016, ada tujuh sektor industri yang menikmati harga gas maksimal sebesar US$ 6 per MMBTU. Ketujuh sektor itu adalah Pupuk, Petrokimia, Baja, Keramik, Kaca, Sarung Tangan Karet dan Oleokimia. Namun sampai saat ini, baru tiga sektor yang sudah nikmati harga gas murah yakni Pupuk, Petrokimia dan Baja.

Belakangan pemerintah membuka peluang untuk menambah sektor industri penerima harga gas murah. “Nanti ada penambahan dari Perpres, PLN akan kami tambahkan. Kami masih pelajari industri mana yang membutuhkan gas dan masukan,” kata Agus Gumiwang, Menteri Perindustrian.

Menurut Syarif, ketika dalam penetapan harga gas maka harus dipertimbangkan mulipllier effect. Penurunan revenue negara kemungkinan besar terjadi. Jika itu sampai terjadi maka Kemenperin harus bisa membuktikan nantinya multiplier effect yang sudah dijanjikan.

“SKK Migas pada prinsipnya mendukung cuma yang harus kita pertimbangkan bagaimana agar penurunan harga gas tepat sasaran. Perpres 40, Kemenperin harus me-list industri yang butuh kemudian diserahkan kepada Kementerian ESDM,” ujarnya.

DIa menjelaskan, harga gas tidak bisa disamaratakan dalam jangka panjang, sebab ‎perlu memperhatikan keberlangsungan produksi dari sumur gasnya.

“Jangan lupa kalau bapak ibu itu menginginkan kelangsungan pasokan 5 atau 10 tahun dengan harga yang sama maka tidak bisa menggantikan pasokan itu terhadap wilayah-wilayah kerja yang saat ini produksi, kami harus menghitung jumlah terhadap wilayah kerja yang akan berproduksi, yang masih tahapan eksplorasi,” jelas Syarif.‎

Menurut Syarif, isu harga gas harus dibahas bersama oleh semua sektor karena komponen harga tidak hanya berada di hulu.

“Kalau kita lihat perpres 40, ada dua harga gas hulu dan bumi tertentu yang harus dijual pada pengguna akhir. Dalam menetapkan harag gas tertentu yang harus dilaksanakan ialah terkait jaminan pasokan, kalau hanya  mengandalkam harga gas rendah dari hulu tapi tidak ada upaya di midstream saya jamin pasokan gas tidak akan berlangsung,” ujar Syarif.

Sebelumnya, Dwi Soetjipto Kepala SKK Migas, mengatakan ‎upaya menurunkan harga gas ditingkat konsumen dengan memangkas harga di sisi hulu, turut membuat khawatir investor untuk berinvestasi hulu migas. Menurutnya hal ini akan berisiko, lantaran SKK Migas sedang gencar menggaet investor untuk menggarap Blok Migas di Indonesia.

“Kami berhadapan sampai sekarang eksplorasi belum meningkat tajam, kalau ada isu-isu investor takut akibat perubahan keekonomian,‎” kata Dwi. (RI)